Entri Populer

Sabtu, 26 November 2011

satu Muharam

malam satu Suro

Malam menuju kecerahan..malam meuju
keberhasilan...
dan malam
menuju kemulyaan...
...
doa
harapan
niat
kubulatkan, demi suatu keutuhan harmoni cinta
amin..
.....
Nop 2011
Sabtu Malem Minggu..malem Satu Suro..

postmodernism


Postmodern dalam Penelitian Kualitatif

A.  Pengantar
Dalam sejarah peradaban, setidak-tidaknya ada tiga era atau zaman yang memiliki ciri khasnya masing-masing, yaitu pra-modern, modern dan post-modern. Zaman modern ditandai dengan afirmasi diri manusia sebagai subjek. Pernyataan Rene Descartes, cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada), telah menghantarkan manusia  sebagai makhluk  yang  dibimbing  oleh  rasionya  sebagai  subjek  dan berorientasi pada dirinya sendiri. Karena itu, rasio atau akal budi manusia menjadi pengendali manusia terutama tingkah lakunya. Selanjutnya muncullah era kontemporer, yang disebut postmodern. Pemikiran pada masa ini memfokuskan diri pada teori kritis yang berbasis pada kemajuan dan emansipasi. Intisari  dari  gerakan  postmodern  adalah  ketidakpercayaannya  dan penolakannya terhadap gerakan modern yang dinyatakannya telah gagal menepati janji-janjinya untuk membahagiakan umat manusia. Gerakan ini yang pada mulanya mencuat dalam bidang bidang arsitektur dan estetika, segera merambah pada berbagai aspek kehidupan manusia yang mempunyai variasi yang luar biasa banyaknya.
Tahapan seperti itu kurang lebih sama dengan tipe pendekatan dalam penelitian kualitatif. Dalam penelitian kualitatif, pendekatan itu juga adalah upaya untuk mencari, menemukan, atau memberi dukungan akan kebenaran yang relatif,  yang sebagai suatu model biasanya dikenal dengan  paradigma.  Ada tiga pendekatan, yaitu positivisme, postpositivisme dan postmodernisme.
Baik positivisme maupun postpositivisme, para ahli terpusat pada upaya membangun kebenaran dengan mencari tata hubungan rasional-logis, baik secara linier pada positivist, maupun secara kreatif. Pada era Postmodern para ahli tidak mencari hubungan rasional-integratif, melainkan menemukan secara kreatif kekuatan  momental dari berbagai sesuatu yang saling independen dan dapat dimanfaatkan.
Akhir era postposivistisme menampilkan pemikiran sistematik, sedang awal berfikir postmodern perlu mulai mengembangkan pemikiran sinergik. Berfikir sistemik sekaligus sinergik dapat dilakukan dalam paradigma postmodern.
Berkaitan dengan ketiga macam pendekatan di atas (dua pendekatan telah dibahas pada pertemuan sebelumnya), makalah ini berusaha mengemukakan secara ringkas mengenai postmodernisme sebagai pendekatan dalam penelitian kualitatif. Pembahasan tentangnya meliputi: konsep dan sejarah perkembangan, kritik postmodern serta metode pendekatanya, penerapan dan simpulan.

B.   Sejarah Perkembangan dan Konsep
1.    Sejarah Perkembangan
Mencuatnya postmodern ke permukaan secara mengejutkan pada awalnya tumbuh di lingkungan arsitektur. Charles Jencks dengan bukunya The Language of Post-modern Architecture menyebut postmodern sebagai upaya mencari pluralisme gaya arsitektur setelah ratusan terkukung satu gaya (Suseno,2005:102). Postmodernisme dalam arsitektur kontemporer itu lahir di St. Louis, Missouri, 15 Juli 1972, pukul 3:32 sore, dengan merobohkan bangunan mewah komplek perumahan. Ketika pertama kali didirikan, proyek perumahan Pruitt-Igoe di St. Louis itu diklaim sebagai lambang arsitektur modern. Bangunan yang dinyatakan sebagai simbol modernisasi yang menggunakan teknologi untuk menciptakan masyarakat utopia itu, secara ironis dihancurkan oleh para penghuninya karena dipandang tidak melambangkan humanisasi. Pemerintah yang telah menghabiskan jutaan dolar akhirnya menyerah dan bangunan itu diledakkan dengan dinamit. Peristiwa inilah menurut Jencks, menandai kematian modernisme dan pertanda kelahiran postmodernisme.
Namun, menurut Ratna (2007:146) istilah postmodernisme  sebenarnya telah muncul pada tahun1870-an, digunakan oleh seniman Inggris John Watkins chaman. Ada beberapa ahli berpendapat, istilah postmodernisme baru muncul kembali pada tahun 1930-an, melalui Federico de Onis, sebagai salah satu reaksi terhadap stagnasi  modernisme, dan mulai dibicarakan secara luas sekitar tahun 1960-an. Sejak saat itu prefiks post mulai digunakan dalam berbagai bidang, seperti seni visual, musik, tari, filsafat, sastra, dan sebagainya. Tak lepas dari modernisme, postmodernisme juga berkembang dalam berbagai ilmu seperti, psikologi, sastra, seni, bahasa, dan sebagainya. Postmodern dapat dikatakan bisa menyediakan suprastruktur ideologisnya, sedangkan modernisme menyediakan infrastruktur  material bagi kepentingan umat manusia.

2.    Postmodern dalam Filsafat
Secara etimologis postmodern terdiri atas dua kata, post dan modern. Secara etimologis postmodern terdiri atas dua kata, post dan modern. Dalam Kamus Bahasa Inggris (Wijowasito, 1980:154) kata “post”, diartikan dengan “setelah”. Modern itu sendiri berasal dari kata latin Modo, yaitu, baru saja (Alwasilah, 2008:121). Apabila kedua kata itu disandingkan berarti kelanjutan atau melampaui, akibat dari, setelah, pasca, pengembangan, penolakan modern. Suseno (2005:102) mengatakan bahwa postmodern juga mengandung arti sebagai koreksi terhadap modern itu sendiri yang berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat terjawab di zaman modern.
 Postmodern itu sendiri muncul sebagai bagian era modern. Ketika post-modern mulai memasuki ranah filsafat, maka kata “post” dalam postmodern tidak dimaksudkan lagi sebagai sebuah periode atau waktu semata, tetapi lebih merupakan sebuah konsep yang hendak melampaui segala hal yang berbau modern (Sugiharto, 1996:121).  Istilah ini pun dipakai secara leluasa dan otomatis membingungkan sebagai akibat dari dua sikap, yakni resistensi sekaligus pengaburan makna modernisme dan implikasi dari pengetahuan luas ikhwal modernisme yang kini sudah terlampaui era baru. Aliran ini mulai dikenal secara luas dalam dunia filsafat pada tahun 1960-an.
Dalam dunia filsafat, postmodernisme mendapatkan pendasaran ontologis dan epistemologis, melalui pemikiran Jean Francois Lyotard seorang filsuf Perancis. Lewat bukunya yang merupakan laporan penelitian kondisi masyarakat komputerisasi di Quebec, Kanada, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge (1984), Lyotard secara radikal menolak ide dasar filsafat modern semenjak era Renaisans hingga sekarang yang dilegitimasikan oleh prinsip kesatuan ontologis (Awuy, 1995: 158). Menurut Lyotard, dalam dunia yang sangat dipengaruhi oleh  kemajuan teknologi, prinsip kesatuan ontologis sudah tidak relevan lagi. Kekuasaan telah dibagi-bagi dan tersebar berkat demokratisasi teknologi. Karena itu prinsip kesatuan ontologis harus didelegitimasi dengan prinsip paralogi. Paralogi berarti prinsip yang menerima keberagaman realitas, unsur, permainan dengan logikanya masing-masing tanpa harus saling menindas atau menguasai (Awuy, 1995: 161). Persis permainan catur, setiap bidak memiliki aturan dan langkah tersendiri, tanpa harus mengganggu langkah bidak lain.
Lebih jauh Lyotard menyatakan prinsip-prinsip yang menegakkan modernisme: rasio, ego, ide absolut, totalitas, teleologi, oposisi biner, subjek, kemajuan sejarah linear  yang disebutnya Grand Narrative  telah kehilangan legitimasi (Awuy, 1995: 158-161). Cerita-cerita besar modernisme tersebut tak ayal hanyalah kedok belaka, mistifikasi, yang bersifat ideologis, eksploitatif, dominatif dan semu.
Dari arah berbeda dengan fokus filsafat bahasa Jacques Derrida, seorang filsuf Perancis yang lain, bersepakat dengan Lyotard. Derrida mengajukan strategi pemeriksaan asumsi-asumsi modernisme yang seolah-olah sudah terberi itu dengan dekonstruksi. Dekonstruksi adalah strategi untuk memeriksa struktur-struktur yang terbentuk dalam paradigma modernisme yang senantiasa dimapankan batas-batasnya dan ditunggalkan pengertiannya (Sahal, 1994: 21). Dengan dekonstruksi, cerita-cerita besar modernitas dipertanyakan, dirongrong dan disingkap sifat paradoksnya. Lebih jauh dekonstruksi hendak memunculkan dimensi-dimensi yang tertindas di bawah totalitas modernisme. Implikasi logis strategi ini adalah melumernya batas-batas yang selama ini dipertahankan. Wacana-wacana yang sebelumnya tertindas: kelompok etnis, kaum feminis, dunia ketiga, ras kulit hitam, kelompok gay, hippies, punk, atau gerakan peduli lingkungan kini mulai diperhatikan. Dengan dekonstruksi, sejarah modernisme hendak ditampilkan tanpa kedok, apa adanya.

3.    Konsep Pendekatan Postmo
Aziz (1996:11) menyatakan bahwa untuk mendefenisikan postmodern itu, perlu dilihat dari dua hal. Pertama, postmodern dipandang sebagai keadaan sejarah setelah zaman modern, karena kata ’post” itu sendiri secara literal mengandung pengertian sesudah. Dalam hal ini modernisme dipandang telah mengalami proses akhir yang segera digantikan oleh zaman berikutnya yaitu post-modern. Kedua, postmodern dipandang sebagai gerakan intelektual yang mencoba menggugat bahkan merekonstruksi pemikiran sebelumnya yang berkembang dalam berbagai paradigma pemikiran modern.
Sepeti dikemukakan oleh Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir (2000:236) bahwa benang merah pola pikir modern antara lain: yang rasionalistik, fungsionalis, interpretif, dan yang teori kritis: yaitu dominannya rasionalitas. Tradisi ilmu sampai teori kritis masih “mengejar” grand theory. Logika yang dikembangkan dalam berilmu pengetahuan masih dalam kerangka mencari kebenaran, membuktikan kebenaran, dan mengkonfirmasikan kebenaran.
Sejumlah ahli mendeskripsikan posmo sebagai menolak rasionalitas yang digunakan oleh fungsionalis, rasionalis, interpretif, dan teori kritis. Namun Muhadjir (2000:237) berpendapat bahwa Posmo bukan menolak rasionalitas tetapi tidak membatasi rasionalitas pada yang linier, tidak membatasi pada yang standar termasuk yang divergen, horizontal, dan heterarkhik tetapi lebih menekankan pada pencarian rasionalitas aktif kreatif.
Tata fikir spesifik posmo adalah: kontradiksi, kontroversi, paradoks, dan dilematis. Posmo lebih melihat realitas sebagai problematis, sebagai yang selalu perlu di-inquired, yang selalu perlu di-discovered, sebagai yang kontroversial. Bukannya harus tampil ragu, melainkan harus memaknai dan selanjutnya in action. Ber-action sesuai dengan indikator jalan benar.
Beberapa pengertian dan pemahaman mengenai postmodernisme, dimana beberapa gagasan-gagasan dalam postmodernisme merupakan bentuk penolakan terhadap “kemapanan”, pencarian yang baru, dan penolakan terhadap pemisahan peran, tujuan atau hasil yang akan dicapai terhadap suatu kegiatan manusia. Berdasarkan pemikiran-pemikiran di atas, munculnya postmodernisme tidak terlepas dari pemikiran-pemikiran sebelumnya yang beraliran postivisme.
Postmodernisme menggoyang sendi-sendi teori atau ilmu sastra, linguistik, estetika, dan sampai pada pemikiran antiteori. Salah satu bentuk penolakan teori ini misalnya apa yang telihat pada paham dekonstruksi. Dekonstruksi ini merupakan ciri dari pendektan postmodern. Dekonstruksi merupakan perlawanan, pembalikan dari  hasil pendekatan lalu yang mapan. Dekonstruksi pada hakikatnya merupakan suatu cara membaca teks yang menumbang anggapan bahwa sebuah teks itu memiliki landasan, dalam sistem bahasa yang berlaku, untuk mengaskan struktur, keutuhan, dan makna yang telah menentu (Abrams, 1981:38)
Teori dekonstruksi menolak pandangan bahwa bahasa telah memiliki makna yang pasti, tertentu, konstan, sebagaimana halnya pandangan strukturalisme klasik. Hal ini merupakan alasan mengapa paham dekonstruksi disebut juga sebagai sebagai poststrukturalisme Nurgiantoro, 2007:59). Kesetiaan yang berlebihan terhadap suatu teori, menurut pendekatan ini, justru akan memunculkan adanya pembangkangan terhadap kebenaran teori itu sendiri.
Proses penulisan selalu mengungkapkan hal yang diredam, menutupi hal yang diungkapkan, dan secara lebih umum menerobos oposisi-oposisi yang dipikirkan untuk kesinambungannya. Inilah sebabnya mengapa “filsafat” Derrida begitu berlandaskan pada teks, dan mengapa term-term kuncinya selalu berubah, karena selalu tergantung pada siapa atau apa yang ia cari untuk didekonstruksi, sehingga titik pengelakan selalu dilokasikan di tempat yang berbeda.
Penjelasan ini berisiko membuat kita semakin sulit memahami pemikiran Derrida. Adanya perbedaan yang lebar dan diakui meluas, antara karya-karya awal dan karya-karya terakhir Derrida, juga menjadi contoh yang jelas bagi kesulitan yang akan muncul, jika kita menyatakan bahwa “dekonstruksi mengatakan ini” atau “dekonstruksi melarang itu.”
Kekhasan cara baca dekonstruktif, yang dalam proses selanjutnya membuatnya sangat bermuatan filosofis, adalah bahwa unsur-unsur yang dilacaknya untuk kemudian dibongkar bukanlah sekadar inkonsistensi logis, argumen yang lemah, atau premis tidak akurat yang terdapat dalam teks, sebagaimana yang biasanya dilakukan pemikiran modernisme. Melainkan, unsur yang secara filosofis menjadi penentu atau unsur yang memungkinkan teks tersebut menjadi filosofis. Singkatnya, kemungkinan filsafat itu sendirilah yang dipersoalkan. Paham dekonstruksi bermaksud untuk melacak aporia, yaitu yang berupa makna paradoksal, kontradiktif, ironi dalam objek yang diteliti. Unsur-unsur dalam penelitian itu dicari dan dipahami justru dalam arti kebalikannya. Unsur yang tidak penting dilacak dan kemudian dipentingkan, diberi makna, peran, sehingga akan terlihat perannya dalam objek penelitian tersebut.
C.  Pendekatan Postmodern dalam Penelitian Sosial Budaya
Kehadiran postmodernisme di kalangan peneliti  sosial budaya me­mang masih kontroversial. Di satu pihak menghendaki agar ada perubahan pemahaman, dari modern ke yang lain, yang konon telah jenuh dan menemui jalan buntu. Di lain pihak, masih ada keraguan menerima istilah tersebut, karena postmodernisme dianggap sekedar konter produktif, hura-hura, dan cibiran terhadap paham modern. Paham kedua inilah kiranya yang menciptakan postmodernisme masih goyah, bahkan ada yang belum mengakui secara akademik.
Pendek kata, kehadiran postmodernisme semestinya tak sekedar gerakan eforis di tengah hiruk pikuk pemahaman budaya. Apabila kemeriahan postmodernisme hanya sampai di sini, berarti pemahaman budaya justru semakin dangkal dan kosong. Kecemerlangan postmo­dernisme akhirnya akan terletak pada kemampuan merefleksikan fenomena secara arif. Arif, berarti memenuhi standar keilmiahan. Teror-teror mental yang selama ini membebani postmodernisme, seperti pelarangan menggunakan kata “saya” pada sebuah penelitian, pelarangan pemanfaatan kata-kata estetis dalam studi budaya – sebaiknya dihapus. Karena, postmodernisme tak lagi ingin berpikir kerdil yang meracuni peneliti sendiri. Keindahan bahasa dalam sebuah laporan peneltian budaya, asalkan tak mengurangi realitas, kiranya diizinkan dalam postmodernisme.
Hal demikian, juga diakui Lyotard (Sarup, 1993:131-134) bahwa postmodernisme merupakan gerakan penelitian budaya “radikal”. Paham ini tak mengindahkan hukum-hukum, pola-pola budaya yang lazim, dan menolak paham modern yang selalu memiliki hegemoni pemaknaan. Postmodernisme justru ingin menjebol sistem status quo. Itulah sebabnya, pemahaman budaya tak harus diatur rapi, tak harus berkotak-kotak, berteori-teori, melainkan dapat dimulai dari hal-hal sepele dan apa saja yang mungkin.
Postmodernisme sebenarnya lahir atas ketidakpuasan terhadap model penelitian budaya sebelumnya. Penganut postmodernisme, menganggap bahwa teori kajian budaya sebelumnya, seperti evolusio­nisme, fungsionalisme, struktal fungsional, dan seterusnya yang mengeklaim dirinya modern — dianggap kurang berdaya. Maksudnya, teori kajian budaya modern itu kurang mewakili kebenaran budaya yang semakin kompleks. Tuntutan zaman dan selera budaya masa kini, tampaknya tak mampu terwadahi oleh teori-teori modern yang agak sedikit kaku. Karena, pandangan modern hampir selalu mematok sebuah pemahaman budaya “harus ini” dan “harus itu”.
Setelah Geertz menafsirkan budaya Jawa di Pare dengan samaran Mojokuto, Periode tafsir ini dianggap kurang mewakili abangan, santri, priyayi di Jawa secara keseluruhan (Muhadjir, 2000:235). Karena itu, muncul postmodernisme yang berupaya menjelaskan sisi-sisi kecil dari unsur budaya yang sering terabaikan.
Sandaran dasar kaum postmodernisme, bukan berarti menolak rasionalitas yang telah dibangun kaum interpretif dan sebelumnya, melainkan ingin mencari makna baru lewat kebenaran aktif kreatif. Logika yang digunakan adalah selalu menemukan kebaruan, tanpa standar yang pasti. Karena itu, bagi kaum postmodernisme berkilah bahwa, kebenaran yang selalu mengandalkan “grandtheory” sudah tidak relevan lagi. Namun, mereka lebih menghargai perbedaan,pertentangan, paradoks, dan misteri di balik fenomena sosial budaya.
Dalam kajian budaya, dekonstruksi Derrida memberi pengaruh penting. Berkat dekonstruksi Derrida, makna kini tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang mutlak, tunggal, universal, dan stabil, tetapi makna selalu berubah. Klaim-klaim kebenaran absolut, kebenaran universal, dan kebenaran tunggal, yang biasa mewarnai gaya pemikiran filsafat sebelumnya, semakin digugat, dipertanyakan, dan tidak lagi bisa diterima.
Dalam kesusastraan, misalnya, dekonstruksi ditujukan sebagai metode pembacaan kritis yang bebas, guna mencari celah, kontradiksi dalam teks yang berkonflik dengan maksud pengarang. Dalam hal ini, membaca teks bukan lagi dimaksudkan untuk menangkap makna yang dimaksudkan pengarang, melainkan justru untuk memproduksi makna-makna baru yang plural, tanpa klaim absolut atau universal.
Dalam proses itu, penafsir juga tidak bisa mengambil posisi netral tatkala menganalisis suatu teks tanpa dirinya sendiri dipengaruhi atau dibentuk oleh teks-teks yang pernah ia baca. Teks itu sendiri juga tidak bisa diasalkan maknanya semata-mata pada gagasan si pengarang, karena pikiran pengarang juga merujuk kepada gagasan-gagasan pengarang lain yang mempengaruhinya.
Dekonstruksi, seperti juga pendekatan posmodernisme lainnya, dengan demikian cocok dengan konsep pluralitas budaya, pluralitas permainan bahasa, banyaknya wacana, penghargaan terhadap perbedaan, dan membuka diri terhadap yang lain (Hardiman, 2007:19).
Penghargaan terhadap perbedaan, pada “yang lain” ini membuka jalan bagi penghargaan pada pendekatan lokal, regional, etnik, baik pada masalah sejarah, seni, politik, masyarakat, dan kebudayaan pada umumnya.
Penelitian yang bersifat lokal, atau etnik, dan sebagainya kini mendapat tempat, dan pada gilirannya akan memperkaya dan menghasilkan deskripsi atau narasi-narasi khas masing-masing. Mungkin, inilah salah satu sumbangan penting dekonstruksi Derrida terhadap kajian budaya.

D.  Penerapan Pendekatan Postmodern dalam Penelitian
Seperti dikemukakan di atas, paham dekonstuksi memiliki keeratan dengan pendekatan postmodern. Paham ini berusaha melacak makna-makna kontradiktif, ironi dan memberi makna pada lain. Sebagai contoh pembicaraan, berikut akan disinggung sedikit penerapannya dalam penelitian sastra, yang masih tergolong penelitian budaya. Seperti pendekonstruksian dalam Roman Siti Nurbaya. Pada umumnya para penikmat sastra beranggapan bahwa Samsul Bahri merupakan tokoh protagonis yang hero, tokoh putih, sedang Datuk Maringgih, di pihak lain merupakan tokoh antagonis yang serba jahat, tokoh hitam. Melalui dekonstruksi, keadaan itu justru akan terbalik.
Samsul Bahri bukanlah seorang pemuda hero, melainkan seorang pemuda cengeng dan berperasaan nasional sempit. Hanya kegagalan cintanya terhadap seorang gadis (yang kemudian ternyata sudah janda), ia lupa akan dirinya: putus asa dan bunuh diri. Hal itu menunjukkan bahwa secara mental, ia bukanlah seorang pemuda yang kuat. Setelah ternyata usaha bunuh dirinya gagal juga, ia memutuskan untuk masuk serdadu kompeni. Belakangan, ketika di daerah Sumatera Barat, yang merupakan tanah kelahirannya, terjadi pemberontakan karena masalah blasting, ia ditugaskan untuk menumpas pemberontakan itu. Dengan bersemangat, ia berangkat ke medan tempur karena sekaligus bermaksud membalas dendam terhadap Datuk Maringgih yang menjadi biang keladi kegagalan cintanya. Apapun alasannya, hal itu berarti bahwa ia menerangi bangsanya sendiri dan justru berdiri di pihak sana membela kepentingan penjajah.
Dilihat dari teori dekonstruksi Jausz, yaitu  yang mempertimbangkan aspek historis yang berwujud “sejarah” tanggapan pembaca dari masa ke masa, perbuatan Samsul Bahri tersebut justru dapat ditanggapi sebagai perbuatan pengkhianat bangsa. Terhadap bangsa sendiri ia sampai hati untuk memeranginya, semata-mata didorong oleh motivasi pribadi. Ia sama sekali bukan seorang pahlawan, bahkan untuk pahlawan cinta sekalipun.
Datuk Maringgih, di pihak lain, walau ia diakui banyak orang sebagai tokoh jahat, bandot tua yang doyan perempuan, justru dipandang sebagai tokoh yang kuat dan berdimensi baik. dialah yang menjadi salah seorang tokoh yang menggerakkan pemberontakan terhadap penjajah Belanda itu, walau hal itu juga dilatarbelakangi motivasi pribadi (agar terbebas dari pajak besar. Apapun motivasinya, dia menjadi tokoh pemberontak. Artinya, dia adalah tokoh pejuang bangsa, yang seberapa pun kecil andilnya, bermaksud mengenyakan penjajah dari bumi Indonesia. dengan demikian, justru dialah yang “berhak” disebut pahlawan dan bukannya Samsul Bahri.
Ahmad Maulana dan Alimah, dalam novel Siti Nurbaya itu, hanya merupakan tokoh pinggiran yang umumnya dianggap kurang penting. Namun  jika dipahami betul pesan-pesan penting yang ingin disampaikan lewat lewat novel itu, akan terlihat bahwa kedua tokoh itu sebenarnya amat berperan. Dalam perbincangannya dengan Nurbaya, Maulana inilah yang mengungkapkan kejelekan-kejelekan perkawinan poligami yang sebenarnya lebih banyak menyengsarakan wanita dan anak-anaknya. Sikap dan pandangan hidup Nurbaya, sebenarnya, banyak dipengaruhi oleh sikap dan pandangan hidup kedua tokoh tersebut.

4.    Simpulan


Daftar Pustaka
Aziz, Ahmad Amir, Neo Modernisme Islam di Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 1996.
Alwasilah, Chaedar. 2008. Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Awuy, Tomy W. 1995. Wacana Tragedi dan Dekosntruksi Kebudayaan. Yogyakarta;Jentera Wacana.
Dunn, Robert. 1993. Pascamodernisme: Populisme, Budaya Massa dan Garda Depan dalam Prisma, No. I, Th. XXII, hlm. 38-56.
Garna, Judistira K. 1999.  Pendekatan Penelitian: Pendekatan Kualitatif.  Bandung: Primaco Akademika
Gelner, Ernest, Menolak Post-modernisme  antara Fundamentalisme Rasionalis dan Fundamentalisme Religius, [Postmodernism, Reason and Religion], terj. Hendro Prasetyo dan Nurul Agustina, Bandung: Mizan, 1994.
Hardiman, F. Budi. 2007. Filsafat Fragmentaris. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Muhadjir, Noeng.  2000. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi IV. Yogyakarta: Rake Sarasin.
Nurgiyantoro, Burhan. 2007. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Uny pers.
Rosenan, Pauline Morie. 1992.  Post Modernism and the Social Sciences: Insight,
Inroads, and Intrusions. Princeton: Princeton University Press.
Sugiharto, Bambang. 1996. Postmodenisme : Tantangan Bagi Filsafat, Jakarta : Kanisius.
_________. 2000. Postmodenisme : Tantangan Bagi Filsafat, Jakarta : Kanisius.
Suseno, Franz Magnis, Pijar-Pijar Filsafat: Dari Gatholoco ke Filsafat Perempuan, dari Adam Muller ke Post-modernisme, Yogyakarta: Kanisius, 2005.
Wijowasito dan Perwadarminta. 1980. Kamus Bahasa Inggris. Bandung: Hasta.

Selasa, 22 November 2011

hermeneutika puisi orang-orang miskin

A. Pendahuluan
            Dewasa ini fenomena yang ada dalam masyarakat adalah pengentasan kemiskinan.  Digembar-gemborkan lewat media masa. Tingginya angka kemiskinan  pada kenyataan, dianggap sebagai  bukan sesuatu yang penting. Tapi dianggap sesuatu yang hanya dinilai dengan laporan-laporan.  Puisi dengan judul Orang-orang Miskin mencoba menenguak sisi kehidupan yang ada di Indonesia.
            Rendra dalam puisinya yang berjudul “Orang-oranag Miskin” ingin menunjukkan keadaan yang sebenarnya masyarakat kita. Kata-kata, kalimat-kalimat yang ditulis Rendra merupakan laporan tentang kondisi yang ada di sekitar. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dari puisi tersebut diperlukan pengetahuan untuk hal itu. Penafsiran salah satu cara dalam memahami suatu karya sastra. Hermeneutik, suatu teori untuk menafsirkan suatu karya sastra.Kemudian kita memerlukan seperangkat teori tentang interpretasi agar pesan itu tidak diterima secara bias. Terjadinya pro dan kontra mengenai keberadaan hermeneutika selama ini sebenarnya menurut hemat penulis adalah dalam wilayah produk atas pemaknaan, penafsiran terhadap hermeneutika itu sendiri. Padahal kalau kita cermat dari hermeneutika, ia hanyalah sebuah “alat”. Yang namanya sebuah alat sudah suatu keniscayaan memiliki keberagaman fungsi dan makna.
Suatu contoh, uang atau duit. Dengan uang orang bisa membangun masjid, membantu sesama manusia, bersekolah/kuliah, bahkan dengan uang orang bisa membunuh, dengan uang Yusron bisa naik haji. Jadi alangkah kejamnya kalau hermeneutika, uang atau alat yang lainnya dijadikan sebagai objek kesalahan, tanpa pernah melihat kepada siapa yang menggunakannya.
B. Kajian Teori
            Istilah Hermeneutika, berasal dari bahasa Yunani  hermeneuine  dan kata benda hermenia yang masing berarti “menafsirkan” dan “penafsiran” (interpretasi).
Berdasarkan bentuk dasar makna hermeneuein dibagi menjadi tiga. Ricard Palmer (2005; 16-33).
a.      Hermeneuein sebagai mengatakan ‘‘to say”
            Ini berasal dari asal mula hermes dalam memberitahukan kepada manusia. Hermes merupakan utusan dari Tuhan dalam tugasnya untuk memberitahukan kepada manusia. Ini mengasumsikan bahwa utusan di dalam memberikan kata, adalah mengumumkan dan menyatakan sesuatu, funsinya tidak hanya untuk menjelaskan tetapi untuk menyatakan.
b.     Hermeneuein  sebagai menjelaskan “to explain”
            Hal yang paling esensial dari kata-kata bukanlah mengatakan saja sesuatu saja, menjelaskan sesuatu, merasionalkannya, membuat jelas. Seseorang bisamengekspresikan situasi tanpa harus menjelaskan, ekspresi merupakan interpretasi, dan  menjelaskan juga merupakan bentuk interpretasi.
c.       Hermeneuein sebagai menerjemahkan “To Translate”
            Pada dimensi ini menafsirkan bermakna ‘to translate” (menerjemahkan). Menerjemahkan adalah bentuk khusus dari proses interpretasi dasar “membawa sesuatu untuk dipahami”. Dalam konteks ini  seseorang membawa apa yang asing, jauh dan tidak dapat dipahami ke dalam mediasi bahasa orang itu sendiri.
           
Suwardi Endraswara, (2003:44-45) mengemukakan dalam bukunya metodologi Penelitian sastra ,hermeneutika menurut Suwardi berarti tafsiran. Dalam studi sastra juga mengenal hermeneutik sebagai tafsir sastra. Suwardi mengemukakan enam pokok dalam menafsirkan sastra yang harus diperhatikan yaitu;
a)      Penafsiran yang berawal dari pendapat, bahwa teks sastra sudah jelas. Isyarat-isyarat dan susunan-susunan teks membuka kesempatan  bagi pembaca yang kompeten untuk menemukan arti yang tepat. Penghayatan diperlukan dikala penafsiran. Tanpa penghayatan, penafsiran akan dangkal.
b)     Penafsiran yang berusaha menyusun kembali arti historik. Penafsir berpedoman pada maksud si pengarang seperti tampak pada teks sendiri atau di luar teks. Penafsiran juga disusun dengan “cakrawala harapan” pada pembaca pada waktu itu. Penafsir  menyusun kembali pandangan sosio budaya masyarakat terhadap sastra yang hidup dalam batin mereka. Penafsir juga menghubungkan dengan aspek sejarah suatu teks. Contoh; berhubungan dengan masalah politik.
c)      Penafsiran hermeneutik baru yang diwakili oleh Gadamer berusaha menggabungkan masa silam dengan masa kini. Penafsir sadar , ia berdiri ditengah-tengah arus sejarah baik penerima maupun penafsiran; cara ia mengerti sebuah teks turut dihasilkan sebuah tradisi. Penafsiran ditentukan indifidu dan masyarakatnya. Proses penafsiran ini sambil “melebur cakrawala masa silam dan masa kini”. Sasarannya  adalah agar penafsir memahami teks dan menerapkannya yang baku dan lepas dari keterkaitan waktu pada situasi itu sendiri.
d)     Penafsiran yang bertolak pada pandangannya sendiri mengenai sastra. Ini sering dilakukan dengan presentasi bahwa kita bisa menunjukkan arti teks yang pokok. Contoh; peneliti menafsirkan dari aspek feminis kary-karya NH. Dhini, Isma Sawitri dan sebagainya. Penafsiran terfokus terhadap gerakan wanita dalam rangka emansipasi, peneliti dapat pula memahami karya-karya pengarang wanita yang bernafaskan emansipasi.
e)      Penafsiran yang berpangkal pada  suatu problematik tertentu misalkan dari aspek politik, psikologis, sosiologis, moral, dan senagainya. Harmeneutik ini berasumsi bahwa penafsiran karya sastra bersifat parsial, hanya bagian tertentu saja yang sejalan dengan isu strategis. Hal ini dilakukan ketika seseorang harus menjadi pembicara pada suatu temu ilmiah yang tematik.
Penafsiran yang tak langsung berusaha agar memadahi sebuah teks diartikan, melainkan henya ingin menunjukkan kemungkinan-kemungkinan yang tercantum di dalam teks, sehingga pembaca sendiri dapat menafsirkannya. Pendekatan yang berpedoman pada pembaca ini dinamakan estetik reseptif. Pengarang memepergunakan aspek retorik, stilistika, struktural, tetapi tetap ada juga bidang-bidang yang dibiarkan kosong; peristiwa-peristiwa yang tidak diceritakan secara lengkap, tokoh tidak diajukan secara utuh, dan diajukan teka-teki tetapi tidak dijawab. Hal-hal kosong ini dapat mengaktifkan pembaca

C. ANALISIS PUISI “Orang-orang Miskin”
            Analisis ini diharapkan pembaca dapat mendapat informasi, tentang puisi Orang-orang Miskin berkaitan dengan arti dan hasil interpretasi. Puisi tersebut dapat dilihat sebagai berikut :

                                          Orang-orang miskin
Pengarang: W.S Rendra
Orang-orang miskin di jalan,
yang tinggal di dalam selokan,
yang kalah di dalam pergulatan,
yang diledek oleh impian,
janganlah mereka ditinggalkan.

Angin membawa bau baju mereka.
Rambut mereka melekat di bulan purnama.
Wanita-wanita bunting berbaris di cakrawala,
mengandung buah jalan raya.

Orang-orang miskin. Orang-orang berdosa.
Bayi gelap dalam batin. Rumput dan lumut jalan raya.
Tak bisa kamu abaikan.

Bila kamu remehkan mereka,
di jalan kamu akan diburu bayangan.
Tidurmu akan penuh igauan,
dan bahasa anak-anakmu sukar kamu terka.

Jangan kamu bilang negara ini kaya
karena orang-orang berkembang di kota dan di desa.
Jangan kamu bilang dirimu kaya
bila tetanggamu memakan bangkai kucingnya.
Lambang negara ini mestinya trompah dan blacu.
Dan perlu diusulkan
agar ketemu presiden tak perlu berdasi seperti Belanda.
Dan tentara di jalan jangan bebas memukul mahasiswa.

Orang-orang miskin di jalan
masuk ke dalam tidur malammu.
Perempuan-perempuan bunga raya
menyuapi putra-putramu.
Tangan-tangan kotor dari jalanan
meraba-raba kaca jendelamu.
Mereka tak bisa kamu biarkan.

Jumlah mereka tak bisa kamu mistik menjadi nol.
Mereka akan menjadi pertanyaan
yang mencegat ideologimu.
Gigi mereka yang kuning
akan meringis di muka agamamu.
Kuman-kuman sipilis dan tbc dari gang-gang gelap
akan hinggap di gorden presidenan
dan buku programma gedung kesenian.

Orang-orang miskin berbaris sepanjang sejarah,
bagai udara panas yang selalu ada,
bagai gerimis yang selalu membayang.
Orang-orang miskin mengangkat pisau-pisau
tertuju ke dada kita,
atau ke dada mereka sendiri.
O, kenangkanlah :
orang-orang miskin
juga berasal dari kemah Ibrahim

Yogya, 4 Pebruari 1978

            Dalam penafsiran karya sastra diperlukan juga penghayatan, karena tanpa penghayatan, maka hasil dari penafsiran akan terlihat dangkal. Penafsiran dapat dimulai dengan bagian perbagian, maupun secara menyeluruh yang kemudian menuju ke arah bagian-bagian. Penafsiran  ini akan dimulai dari kata-kata yang ada dikatakan dalam puisi Orang-orang Miskin. Dalam bait pertama kata-kata yang hendak ditonjolkan adalah sebagai beriku;
Orang-orang miskin di jalan,
yang tinggal di dalam selokan,
yang kalah di dalam pergulatan,
yang diledek oleh impian,
janganlah mereka ditinggalkan

“miskin, selokan, kalah, diledek, ditinggalkan”
Dikatakan dalam kata-kata bergaris bawah pada puisi bait pertama di atas seirama dengan judulnya yaitu Orang-orang miskin. Dilanjutkan dengan penjelasan dari bait pertama, bahwa mereka (orang-orang miskin) perlu perhatian. Dalam fenomena dimasyarakat, sering kita jumpai Gepeng (gelandangan  dan pengemis) sepertinya tak pernah berkurang, malah terkadang tambah  dan bertambah. Di bait pertama pencipta puisi mengharapkan kepada kita (pembaca) untuk tidak meninggalkan mereka. Dalam arti, paling tidak kita memberi bantuan sesuatu yang berguna bagi mereka.
Pada bait kedua kat-kata yang hendak ditojolkan adalah, bau, melekat, dan bunting.
“Angin membawa bau baju mereka.
Rambut mereka melekat di bulan purnama.
Wanita-wanita bunting berbaris di cakrawala,
mengandung buah jalan raya”

Kata-kata tersebut menyatakan keadaan yang tidak enak  dirasakan bagi orang yang berkondisi normal (ekonomi menegah). Pada bait ini menjelaskan bahwa kondisi orang miskin tersebut berbaju yang kotor, keadaan badan yang tidak bersih, dan wanita-wanita yang sedang mengandung yang berada di pinggir-pinggir jalan. Dalam kenyataan, gepeng (gelandangan dan pengemis) mayoritas adalah wanita. Secara psikologi, orang akan lebih merasa kasihan melihat pengemis wanita dibandingkan dengan pengemis pria. Kondisi ini menyebar hampir di seluruh wilayah perkotaan.
Pada bait ketiga kata-kata yang ditonjokan adalah; dosa, gelap, rumput dan lumut, abaikan. Kata-kata tersebut meberikat gambaran kepada kita bahwa dosa, adalah bagian dari orang miskin. Dan orang miskin adalah tumbuhan yang tidak bergna yang ada d ijalan-jalan. Namun pengarang tetep memharapkan bahwe meraka harus kita beri perhatian, seperti dalam kalimat terakhir tersebut dibawah ini.
“Orang-orang miskin. Orang-orang berdosa.
Bayi gelap dalam batin. Rumput dan lumut jalan raya.
Tak bisa kamu abaikan.”

Bait keempat kata-kata yang ditojolkan oleh pengarang yaitu; remeh, bayangan, dan igauan.
Bila kamu remehkan mereka,
di jalan kamu akan diburu bayangan.
Tidurmu akan penuh igauan,
dan bahasa anak-anakmu sukar kamu terka
Pada bait ini pengarang memberikan peringatan kepada kita. Jika kita menelantarkan mereka, maka hidup kita tidak tentram. Pembaca, (masyarakat) akan mengalami ketidaktenagan jiwa. Bahkan hubungan denga keluarga (anak) akan tidak harmonis).
Bait kelima pada puisi Orang-orang  apa yang hendak di sampaikan bertambah luas.
Jangan kamu bilang negara ini kaya
karena orang-orang berkembang di kota dan di desa.
Jangan kamu bilang dirimu kaya
bila tetanggamu memakan bangkai kucingnya.
Lambang negara ini mestinya trompah dan blacu.
Dan perlu diusulkan
agar ketemu presiden tak perlu berdasi seperti Belanda.
Dan tentara di jalan jangan bebas memukul mahasiswa.


Seperti dalam kalimat “ Lambang negara ini mestinya trompah dan blacu” kalimat ini mempunyai arti bahwa lambang negara Indonesia yaitu Pancasila diminta untuk diganti dengan trompah dan blacu. Analoginya trompah adalah alas kaki, dan kain blacu adalah kain yang mutunya jelek, jadi lebih tepat apa bila lambang negara diganti barang yang kurang berguna. Karena Pancasila yang berisi lima sila dan 45 butir-butir Pancasila sudah tidak lagi merefleksi pada bangsa kita.
            Kemudian dua baris kalimat terakhir bait kelima menjelaskan bahwa fenomena yang ada, birokrasi di Indonesia sangat kaku, birokrasi indonesia merujuk sistem yang ada ada jaman Belanda. Belanda bersifat feodalisme, seorang bawahan harus berpakaian rapi dan berdasi apabila hendak bertemu dengan presiden. Sedangkan pada  kalimat terakhir mengisyaratkan bahwa mahasiswa adalah manusia yang bisa dipukuli seenakknya oleh tentara bila mengadakan aksi dijalan. Namaun pada kenyataannya sampai sekarangpun sering kita lihat dimedia televisi bentrok antara aparat dan mahasiswa apabila ada kegiatan unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa.
            Dalam bait keenam pengarang berusaha mengajak pembaca untuk menghaayal dalam mimpi.
Orang-orang miskin di jalan
masuk ke dalam tidur malammu.
Perempuan-perempuan bunga raya
menyuapi putra-putramu.
Tangan-tangan kotor dari jalanan
meraba-raba kaca jendelamu
Dikatakan bahwa bila kita tetap menelantarkan mereka, maka keadaan itu akan masuk ke dalam alam mimpi kita. Kita tidak ingin, anak kita disuapi oleh wanita-wanita dari jalanan, kiata tidak ingin mobil  atau kendaraan  kita (bila punya) dipegang tangan-tangan kotor.
            Pada bait ketujuh lebih luas lagi pengarang mengarahkan fenomena yang tejadi pada waktu itu.  Dalam kalimat pertama, mempunya maksud bahwa jumlah mereka banyak. Dan tak bisa disembunyikan. “tidak bisa dimistikkan menjadi nol”. Pada masa itu judi undian nomor merajalela, “mistik” pada kata tersebut bukan berarti hal yang berbau mistis, namun berawal dari istilah dalam judi undian nomor dalam pengutak-atikan angka. Jadi analoginya yaitu banyaknya kemiskinan tidak bisa di sembunyikan atau di dianggap tidak ada. Ideologi pembaca yang bersifat ideal, oleh pengarang diharapkan dapat berhenti sejenak dalam berpikir idealis .Bait ini menyentuh insan agama yang mempelajari agama namun tidak merefelksinya dimasyarakat. Aparat pemerintahpun disudutkan denga fakta kondisi orang miskin yang hidup dengan segala macam penyakit karena ketidakmampuan mereka dalam menjaga kesehatan. Golongan senimanpun sebenarnya oleh pengarang dihadapkan dengan fakta di lapangan bahwa mereka juga tidak terlalu memperdulikan dengan kondisi sekitar (orang miskin).
Jumlah mereka tak bisa kamu mistik menjadi nol.
Mereka akan menjadi pertanyaan
yang mencegat ideologimu.
Gigi mereka yang kuning
akan meringis di muka agamamu.
Kuman-kuman sipilis dan tbc dari gang-gang gelap
akan hinggap di gorden presidenan
dan buku programma gedung kesenian.
Kata-kata yang menonjol dalam bait di atas
Kata-kata yang terlihat menojol adalah, mistik, ideologi, agama, sipilisdan tbs, gorgen kepresidenan, programa. Kata-kata tersebut menjelaskan bahwa fenomena kemiskinan, sangat berkaitan dengan semua aspek dalam masyarakat, ideologi , agama, dinas kesehatan, dan pemerintah waktu itu.
Pada bait terakhir pengarang secara nyata menjelaskan bahwa orang-orang miskin dalam puisi “Orang-orang miskin”  telah selama bertahun-tahun. Dianalogikan oleh pengarang seperti udara yang panas dan seperti gerimis. Disini pengarang menjelaskan bahwa orang miskin mempunyai dilema, terus dengan kondisinya, dengan resiko akan mati atau tidak ada perubahan hidup, atau melanjutkan hidup mengan langkah kriminal dengan berbuat jahat kepada kita (orang lain yang lebih berada daripada mereka). Di akhir bait ada himbauan untuk kita bahwa mereka juga berasal dari keturuan yang sama dengan kita. Berasal dari umat Nabi Ibrahim juga.
Orang-orang miskin berbaris sepanjang sejarah,
bagai udara panas yang selalu ada,
bagai gerimis yang selalu membayang.
Orang-orang miskin mengangkat pisau-pisau
tertuju ke dada kita,
atau ke dada mereka sendiri.
O, kenangkanlah :
orang-orang miskin
juga berasal dari kemah Ibrahim

Kata-kata yang ditonjolkan oleh pengarang adalah sejarah, panas, gerimis, pisau, dada, dan Ibrahim. Kata sejarah mempunyai makna bahwa kejadian itu sudah berlangsung lama. Panas dan gerimis adalah analogi keadaan yang selalu ada dan silih berganti setiap waktu. Pisau-pisau merupakan tuntutan atau pilihan yang sangat sulit untuk mereka orang miskin, mereka merasa dilematis, mereka lebih memilih hidup sebagai orang miskin selamanya atau memaksa diri lepas dari kondisi kemiskinan dengan cara  mengintimidasi orang laen.
            Secara global makna dari puisi “Orang-orang miskin “ adalah pesan yang di harapkan oleh pengarang tentang kehidupan orang miskin. Pembaca (kita) diharapkan dapat memperhatikan dan memberikan solusi kepada mereka agar kondisi mereka tidak statis pada level itu.

D. Simpulan
            Secara garis besar puisi diatas dapat ditafsirkan sebagai bentuk pengharapan bagi penulis/pengarang agar pembaca/masyarakat, yang terdiri dari kita kaum akademis, masyarakat agama, masyarakat seni, dan masyarakat pemerintah mau memberikan sesuatu yang berguna bagi merka orang miskin. Pemberian sedekah ataupun uluran tangan dalam bentuk yang lain sangat diharapkan dengan harapan dapat mengubah walaupun sedikit, kondisi orang-orang miskin yang ada di sekitar kita.



DAFTAR PUSTAKA


Palmer, Richard E, 2003. Hermeneutics Interpretation Theory In Schlemacher, Dilthey Heidegger And Gadamer, .Terj. Musnur Hery dan Damanhuri Muhamed, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, Cet III.
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Satra, Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi.

PENGEMBANGAN INSTRUMEN PENELITIAN KUANTITATIF

PENGEMBANGAN  INSTRUMEN
DALAM PENELITIAN KUANTITATIF
A.    Pengantar
Setelah menentukan disain penelitian, langkah selanjutnya dalam penelitian adalah membuat atau menetapkan instrumen penelitian. Dalam menentukan jenis instrumen yang akan digunakan seorang peneliti harus mempertimbangkan beberapa keadaan seperti jenis variable yang hendak diukur, jumlah sample penelitian, lokasi responden, ada tidaknya staf peneliti yang terlatih, dana dan waktu yang tersedia serta metode pengumpulan data yang dipilih.
Instrumen penelitian merupakan alat yang digunakan untuk mengukur variabel dalam rangka mengumpulkan data. Berhubung ada beberapa macam variabel dan banyak metode untuk mengumpulkan data, maka jenis instrumen penelitiannya juga banyak.  Menurut jenis variabel yang akan diukur secara garis besar  instrument dapat dibedakan dua jenis  yaitu :
1.      Instrumen untuk mengukur variable  dengan  skala nominal dan ordinal (data kualitatif)
2.      Instrumen untuk mengukur skala interval dan rasio (data kuantitatif). 
Instrumen yang digunakan untuk mengukur variabel dengan skala interval dan rasio biasanya merupakan alat standard dan sudah ditera. Contoh alat-alat dalam golongan ini adalah timbangan, pengukur panjang, thermometer, tensimeter, alat-alat laboratorium dan lain sebagainya.
Banyak diantara orang yang belum paham benar akan penelitian, mengacaukan dua pengertian yang sering salah dilakukan yakni menyebutkan “metode pengumpulan data adalah pedoman wawancara “. Jelas ini salah. Instrumen adalah alat pada waktu penelitian menggunakan sesuatu metode, yang kebetulan  istilah bagi instrumennya memang sama dengan nama  metodenya. Contoh, instrumen untuk metode tes adalah tes atau soal tes, instrumen untuk metode angket atau kuesioner adalah angket atau kuesioner, tiga instrumen untuk metode observasi adalah check-list,  instumen untuk metode dokumentasi adalah pedoman dokumentasi atau dapat juga check-list.
Berbicara tentang jenis-jenis metode dan instrumen pengumpulan data sebenarnya tidak ubahnya  dengan berbicara masalah evaluasi. Mengevalusi tidak lain adalah memperoleh data tentang status sesuatu dibandingkan dengan standar atau ukuran yang telah ditentukan, karena mengevaluasi adalah juga mengadakan pengukuran. Jadi mendasarkan pada pengertian ini, maka apabila kita menyebut jenis metode dan alat atau instrument pengumpulan data, maka sama saja dengan menyebut alat evaluasi, atau setidak-tidaknya hampir seluruhnya sama.

B.     Keampuhan Instrumen
Di dalam penelitian, data mempunyai kedudukan yang paling tinggi, karena data merupakan penggambaran variable yang diteliti dan berfungsi sebagai alat pembuktian hipotesis. Oleh karena itu benar tidaknya data, sangat menentukan bermutu tidaknya hasil penelitian. Sedangkan benar tidaknya data, tergantung dari tidaknya instrumen pengumpul data. Instrumen yang baik harus memenuhi dua persyaratan penting yaitu valid dan reliabel. Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat kevalidan atau kesahihan suatu instrumen.  Suatu instrumen yang valid atau sahih mempunyai validitas tinggi. Sebaliknya, instrumen yang kurang valid berarti memiliki validitas rendah.  Sedangkan Realibilitas menunjuk pada satu pengertian bahwa sesuatu instrument cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data karena instrument tersebut sudah baik.

C.    Langkah Penyusunan Instrumen
Untuk memahami konsep penyusunan dan pengembangan instrumen, maka di bawah ini akan disajikan proses atau langkah-langkah yang ditempuh dalam penyusunan instrumen dilengkapi dengan bagan proses penyusunan item-item instrumen suatu penelitian.  Menurut Muljono (2002:3-4) langkah-langkah penyusunan dan pengembangan instrumen adalah sebagai berikut : 
a)      Berdasarkan sintesis dari teori-teori yang dikaji tentang suatu konsep dari variabel yang hendak diukur, kemudian dirumuskan konstruk dari variabel tersebut. Konstruk pada dasarnya adalah bangun pengertian dari suatu konsep yang dirumuskan oleh peneliti.
b)      Berdasarkan konstruk tersebut dikembangkan dimensi dan indikator  variabel yang sesungguhnya telah tertuang secara eksplisit pada rumusan konstruk variabel pada langkah pertama.
c)      Membuat kisi-kisi instrumen dalam bentuk tabel spesifikasi  yang memuat  dimensi, indikator, nomor butir dan jumlah butir untuk setiap dimensi dan indikator.
d)     Menetapkan besaran atau parameter yang bergerak dalam suatu rentangan kontinum dari suatu kutub ke kutub lain yang berlawanan, misalnya dari rendah ke tinggi, dari negatif ke  positif, dari otoriter ke demokratik, dari dependen ke independen, dan sebagainya.
e)      Menulis butir-butir instrumen yang dapat berbentuk pernyataan atau pertanyaan.Biasanya butir instrumen yang dibuat terdiri atas dua kelompok yaitu kelompok butir positif dan kelompok butir negatif.    Butir positif adalah pernyataan  mengenai ciri atau keadaan, sikap atau persepsi yang positif atau mendekat ke kutub positif, sedang butir negatif adalah pernyataan mengenai ciri atau keadaan, persepsi atau sikap negatif atau mendekat ke kutub negatif.
f)       Butir-butir yang telah ditulis merupakan konsep instrumen yang harus melalui proses validasi, baik validasi teoretik maupun validasi empirik. 
g)      Tahap validasi pertama yang ditempuh adalah validasi teoretik, yaitu melalui  pemeriksaan pakar atau melalui panel yang pada dasarnya menelaah seberapa jauh dimensi merupakan jabaran yang tepat dari konstruk, seberapa jauh indikator merupakan jabaran yang tepat dari dimensi, dan seberapa jauh butir-butir instrumen yang dibuat secara tepat dapat mengukur indikator. 
h)      Revisi atau perbaikan berdasarkan saran dari pakar atau berdasarkan hasil panel.
i)        Setelah konsep instrumen dianggap valid secara teoretik atau secara konseptual, dilakukanlah penggandaan instrumen secara terbatas untuk keperluan ujicoba.
j)         Ujicoba instrumen di lapangan  merupakan bagian dari proses validasi empirik. Melalui ujicoba tersebut,  instrumen diberikan kepada sejumlah responden sebagai sampel uji-coba yang mempunyai karakteristik sama atau ekivalen dengan karakteristik populasi penelitian. Jawaban atau respon dari sampel ujicoba merupakan data empiris yang akan dianalisis untuk menguji validitas empiris atau validitas kriteria dari instrumen yang dikembangkan.
k)      Pengujian validitas dilakukan dengan menggunakan kriteria baik kriteria internal maupun kriteria eksternal. Kriteria internal, adalah instrumen itu sendiri sebagai suatu kesatuan yang dijadikan kriteria sedangkan kriteria eksternal, adalah instrumen atau hasil ukur tertentu di luar instrumen yang dijadikan sebagai kriteria.
l)        Berdasarkan kriteria tersebut diperoleh kesimpulan mengenai valid atau tidaknya sebuah butir  atau sebuah perangkat instrumen. Jika kita menggunakan kriteria internal, yaitu skor total instrumen sebagai kriteria maka keputusan pengujian adalah mengenai valid atau tidaknya butir instrumen dan proses pengujiannya biasa disebut analisis butir.  Dalam kasus lainnya, yakni jika kita menggunakan  kriteria eksternal, yaitu instrumen atau ukuran lain di luar instrumen yang dibuat yang dijadikan kriteria maka keputusan pengujiannya adalah mengenai valid atau tidaknya perangkat instrumen sebagai suatu kesatuan.
m)    Untuk kriteria internal atau validitas internal, berdasarkan hasil analisis butir maka butir-butir yang tidak valid dikeluarkan atau diperbaiki untuk diujicoba ulang, sedang butir-butir yang valid dirakit kembali menjadi sebuah perangkat instrumen untuk melihat kembali validitas kontennya berdasarkan kisi-kisi.  Jika secara konten butir-butir yang valid tersebut dianggap valid atau memenuhi syarat, maka perangkat instrumen yang terakhir ini menjadi instrumen final yang akan digunakan untuk mengukur variabel penelitian kita.
Untuk memahami alur berfikir berikut ini disajikan bagan “Alur Penyusunan dan Pengembangan Instrumen”
Gambar alur dan pengembangan instrument.
Variabel
 
Teori
 
Konstruk
 
 






Definisi Konseptual
 
Definisi Operasional
 
Penetapan Jenis Instrumen
 
Menyusun Butir Instrumen
 
 


















(Muljono, 2002:5)


D.    Jenis Istrumen dan Contoh
1.      Instrumen Tes
a). Pengertian
Menurut  (Arikunto: 2006) tes adalah seretetan pertanyaan atau latihan serta alat lain yang digunakan untuk mengukur keterampilan, pengetahuan intelegensi, kemampuan atau bakat yang dimiliki oleh individu atau kepompok.
Keunggulan metode ini adalah a) lebih akurat karena test berulang ulang direvisi, b) instrument penelitian yang objektif.
Sedangkan kelemahan metode ini adalah a) hanya mengukur satu aspek data, b) memerlukan jangka waktu yang panjang karena harus dilakukan secara berulang-ulang, c) hanya mengukur keadaan siswa pada saat test itu dilakukan.

b).Jenis-Jenis Tes
1) Tes Intelegensi
Tes kemampuan intelektual, mengukur taraf kemampuan berfikir, terutama berkaitan dengan potensi untuk mencapi taraf prestasi tertentu dalam belajar di sekolah (Mental ability Test; Intelegence Test; Academic Ability Test; Scholastic Aptitude Test). Jenis data yang dapat diambil dari tes ini adalah kemampuan intelektual atau kemampuan akademik.
2)  Tes Bakat
Tes kemampuan bakat, mengukur taraf kemampuan seseorang untuk berhasil dalam bidang studi tertentu, program pendidikan vokasional tertentu atau bidang pekerjaan tertentu, lingkupnya lebih terbatas dari tes kemampuan intelektual (Test of Specific Ability; Aptitude Test ). Kemampuan khusus yang diteliti itu mencakup unsur-unsur intelegensi, hasil belajar, minat dan kepribadian yang bersama-sama memungkinkan untuk maju dan berhasil dalam suatu bidang tertentu dan mengambil manfaat dari pengalaman belajar dibidang itu.
3) Tes Minat
Tes minat, mengukur kegiatan-kegiatan macam apa paling disukai seseorang. Tes macam ini bertujuan membantu orang muda dalam memilih macam pekerjaan yang kiranya paling sesuai baginya (Test of Vocational Interest).
4). Tes Kepribadian
Tes kepribadian, mengukur ciri-ciri kepribadian yang bukan khas bersifat kognitif, seperti sifat karakter, sifat temperamen, corak kehidupan emosional, kesehatan mental, relasi-relasi social dengan orang lain, serta bidang-bidang kehidupan yang menimbulkan kesukaran dalam penyesuaian diri. Tes Proyektif, meneliti sifat-sifat kepribadian seseorangmelalui reaksi- reaksinya terhadap suatu kisah, suatu gambar atau suatu kata; angket kepribadian, meneliti berbagai ciri kepribadian seseorang dengan menganalisa jawaban-jawaban tertulis atas sejumlah pertanyaan untuk menemukan suatu pola bersikap, bermotivasi atau bereaksi emosional, yang khas untuk orang itu.
Kelemahan Tes Proyektif hanya diadministrasi oleh seorang psikolog yang berpengalaman dalam menggunakan alat itu dan ahli dalam menafsirkannya.
5. Tes Perkembangan Vokasional
Tes vokasional, mengukur taraf perkembangan orang muda dalam hal kesadaran kelak akan memangku suatu pekerjaan atau jabatan (vocation); dalam memikirkan hubungan antara memangku suatu jabatan dan cirri-ciri kepribadiannya serta tuntutan-tuntutan social-ekonomis; dan dalam menyusun serta mengimplementasikan rencana pembangunan masa depannya sendiri. Kelebihan tes semacam ini meneliti taraf kedewasaan orang muda dalam mempersiapkan diri bagi partisipasinya dalam dunia pekerjaan (career maturity).
6) Tes Hasil Belajar (Achievement Test)
Tes yang mengukur apa yang telah dipelajari pada berbagai bidang studi, jenis data yang dapat diambil menggunakan tes hasil belajar (Achievement Test) ini adalah taraf prestasi dalam belajar.
Dalam penulisan soal penulis butir soal harus memperhatikan ketentuan atau kaidah penulisan soal. Kaidah tersebut adalah
a)      Pilihan Ganda
Kaidah penulisan soal pilihan ganda adalah a) soal harus sesuai dengan indikator, b)setiap soal hanya ada satu jawaban, c) pengecoh harus berfungsi, d)  rumusan soal tegas dan jelas, e) pokok soal jangan memberi petunjuk kepada jawaban, f) pokok soal jangan mengandung pernyataan negative ganda, g) pilihan jawaban harus homogen dan logis, h) jawaban diurutkan dengan kaidah dari kecil ke besar; dari a ke z., i) rumusan jawaban seharusnya relative sama panjang, j) gunakan bahasa yang sesuai dengan EYD.
Perhatikan contoh soal berikut ini.
Pemanasan global mengakibatkan dampak yang luas dan serius bagi lingkungan bio-geofisik (seperti pelelehan es di kutub, kenaikan muka air laut, perluasan gurun pasir, peningkatan hujan dan banjir, perubahan iklim, punahnya flora dan fauna tertentu, migrasi fauna dan hama penyakit, dsb). Sedangkan dampak bagi aktivitas sosial-ekonomi masyarakat meliputi : (a) gangguan terhadap fungsi kawasan pesisir dan kota pantai, (b) gangguan terhadap fungsi prasarana dan sarana seperti jaringan jalan, pelabuhan dan bandara (c) gangguan terhadap permukiman penduduk, (d) pengurangan produktivitas lahan pertanian, (e) peningkatan resiko kanker dan wabah penyakit, dsb). Dalam makalah ini, fokus diberikan pada antisipasi terhadap dua dampak pemanasan global, yakni : kenaikan muka air laut (sea level rise) dan banjir.

Masalah  utama yang dibahas dalam wacana di atas yang tepat adalah…
A.     Kanaikan air laut akibat pemanasan global.
B.     Gangguan terhadap permukiman penduduk.
C.     Pemanasan global mengakibatkan dampak yang luas dan serius bagi lingkungan bio-geofisik
D.     Punahnya flora dan fauna tertentu.
E.      Gangguan terhadap fungsi prasarana dan sarana seperti jaringan jalan

b)       Esai/ bentuk isian
Kaidah penulisan soal esai yang baik adalah a) soal harus sesuai dengan indicator, b) materi yang diukur sesuai dengan tubtutan jawaban, c) pernyataan disusun denganbentuk pertanyaan langsung agar siswa lebih mudah merumuskan jawaban, d) hindari pernyataan yang menggunakan kata-kata yang langsung mengutip dari buku, e)jika jawaban yang dikehendaki adalah mentut satuan urutan, maka ungkapkanlah secara rinci dengan pernyataan, f)bahasa harus komunikatif sesuai dengan jenjang  pendidikan siswa, g) gunakan bahasa yang sesuai dengan EYD.
Perhatikan contoh soal berikut ini.
Perhatikan paragraf berikut!
Tanaman Kecipir sebenarnya sudah dikenal walaupun belum tersebar di seluruh Indonesia. Ini disebabkan kecipir mempunyai nama khusus di masing-masing daerah, misalnya di Jawa Barat diberi nama jaat, di Jawa Timur dan Jawa Tengah disebut kecipir atau cipir, di Bali Diberi nama Kaongkang, di Sumantra Barat namanya Kacang Belimbing, dan di Minahasa disebut dengan biraw.
a. Tentukan ide pokok paragraf!
b. Tentukan ide penjelas paragraf!


2.      Instrumen Nontes
a.       Wawancara
Ada beberapa faktor penentu wujud metode dan teknik yang dapat digunakan pada tahapan penyediaan data dalam wawancara, yaitu
1.      pandangan peneliti terhadap dirinya dalam berhadapan dengan objek ilmiahnya (bahasa);
2.      jenis objek ilmiah (bahasa) yang diteliti;
3.      watak objek dan tujuan penelitian (Sudaryanto dalam Mahsun, 2005: 85).
Faktor yang pertama lebih bersifat subjektif karena menyangkut penggunaan bahasa ibu sebagai bahasa yang diteliti oleh peneliti itu sendiri. Ada dua macam pandangan yang muncul berhubungan dengan faktor yang pertama (Sudaryanto dalam Mahsun, 2005: 85), yaitu (1) peneliti dapat memandang dirinya hanya sebagai pengamat, dalam arti tidak perlu terlibat dalam peristiwa penggunaan bahasa yang diteliti; (2) peneliti dapat memandang dirinya di samping sebagai pengamat juga terlibat dalam penggunaan bahasa yang diteliti karena dia sendiri memang menguasai dan dapat menggunakan dalam bahasa yang diteliti.
Faktor kedua lebih bersifat objektif karena menyangkut penguasaan bahasa secara aktif oleh peneliti. Kadar penguasaan tersebut bukan menurut anggapan si peneliti, melainkan menurut kenyataan yang sesungguhnya, artinya bisa diteliti. Setidaknya ada tiga jenis bahasa yang diteliti, yaitu (1) bahasa yang diteliti cukup dekat, artinya bahasa tersebut sudah dikuasai aktif oleh peneliti. Hal ini bisa berkaitan dengan bahasa ibu atau bahasa kedua yang telah dikuasai oleh si peneliti. (2) bahasa yang diteliti cukup jauh, artinya bahasa tersebut belum dikuasai oleh peneliti, tetapi tidak menutup kemungkinan untuk dikuasai. Hal ini bisa berkaitan dengan bahasa asing yang belum dikuasai oleh peneliti. (3) bahasa yang diteliti sangat jauh, artinya bahasa tersebut tidak mungkin dikuasai oleh peneliti. Hal ini berkaitan dengan penelitian bahasa kuno yang dapat diambil dari naskah-naskah kuno.
Faktor ketiga berkaitan dengan ihwal perilaku struktural satuan lingual yang menjadi objek penelitian tersebut, misalnya untuk objek penelitian adverbia yang memiliki perilaku kurang wajar (letaknya bisa berpindah-pindah dalam deretan struktur).

b.      Metode dan Teknik Penyediaan Data
1)      Metode Simak
Metode ini memiliki teknik dasar yang berwujud teknik sadap karena metode ini pada hakikatnya diwujudkan dengan penyadapan. Ada beberapa teknik lanjutan untuk metode ini, yaitu teknik simak libat cakap dan teknik simak bebas libat cakap. Dalam teknik simak libat cakap, peneliti terlibat langsung dalam dialog. Dengan demikian, dalam teknik ini, peneliti ikut berperan dalam pembentukan dan pemunculan calon data. Sedangkan, dalam teknik simak bebas libat cakap, peneliti hanya berlaku sebagai pengamat penggunaan bahasa dari informannya. Jadi, peneliti sama sekali tidak berperan untuk memunculkan data. Data diharapkan muncul dengan sendirinya.
2)      Metode Cakap
Metode ini mengharuskan penelitinya melakukan kontak bahasa dengan informannya. Metode cakap memunyai teknik dasar teknik pancing karena percakapan tersebut diharapkan sebagai pancingan-pancingan yang memunculkan gejala kebahasakan yang diharapkan oleh peneliti. Selanjutnya, teknik tersebut dijabarkan dalam dua teknik lanjutan, yaitu teknik cakap semuka dan teknik cakap tansemuka. Pada pelaksanaan teknik cakap semuka, peneliti terlibat langsung bercakap-cakap dengan informan dengan bersumber pada pancingan atau spontanitas. Sedangkan, teknik cakap tansemuka.
Selanjutnya, pelaksanaan teknik cakap tansemuka maksudnya adalah peneliti tidak langsung melakukan percakapan dengan informan di lokasi penelitian, tetapi melalui surat-menyurat atau peneliti mengirimkan instrumen penelitian berupa daftar pertanyaan yang kemudian informan diminta untuk mengisi dan mengirimkannya kembali kepada peneliti. Atau juga bisa saja melalui telepon.
Kami mengambil contoh instrumen penelitian dari penelitian dialektologi (pemetaan bahasa) sebagai berikut,
Insrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa daftar tanyaan rancangan Bernd Nothoder yang telah dimodifikasi (Kisyani-Laksono dalam Verba, 2000: 130;  Mahsun, 1995). Daftar tanyaan ini berjumlah 843 item kata dengan rincian 200 glos kosakata Swadesh dan 643 glos Kata Budaya Dasar yang disusun berdasarkan medan makna. Hal itu dimaksudkan agar informan berada pada suasana yang memungkinkannya memberikan jawaban yang langsung dan spontan (Ayatrohaedi, 1983: 41). Pemodifikasian ini disesuaikan dengan keadaan masyarakat yang diteliti. Daftar pertayaan tersebut terdiri atas:
a.       bagian tubuh berjumlah 69 pertanyaan
b.      kata ganti, sapaan, dan acuan berjumlah 15 pertanyaan
c.       sistem kekerabatan berjumlah 30 pertanyaan
d.      kehidupan desa dan masyarakat berjumlah 26 pertanyaan
e.       rumah dan bagian-bagiannya berjumlah 36 pertanyaan
f.       peralatan dan perlengkapan berjumlah 52 pertanyaan
g.      makanan dan minuman berjumlah 36 pertanyaan
h.      tanaman, halaman, dan pepohonan berjumlah 50 pertanyaan
i.        binatang berjumlah 77 pertanyaan
j.        musim, keadaan alam, benda alam dan arah berjumlah 80 pertanyaan
k.      penyakit dan pengobatan berjumlah 26 pertanyaan
l.        perangai, kata sifat, dan warna berjumlah 104 petanyaan
m.    mata pencaharian berjumlah 10 pertanyaan
n.      pakaian dan perhiasan berjumlah 24 pertanyaan
o.      permaianan berjumlah 5 pertanyaan
p.      gerak dan kerja berjumlah 135 pertanyaan
q.      kata bilangan berjumlah 29 petanyaan
r.        kata tugas berjumlah 39 pertanyaan.
Dari 843 glos yang ditanyakan tersebut, peneliti menghapus 6 glos karena dirasa berian yang muncul tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh peneliti. Glos yang dihapus ialah glos dengan nomor 87 KAKAK DARI SUAMI, 98 ANAK DARI KAKAKNYA AYAH/ IBU, 99 ANAK DARI ADIKNYA AYAH/ IBU, 724 TUNJUK, 820 LUSA, 822 SEDANG.
Berikut contoh daftar pertanyaan tersebut,
a.       Bagian Tubuh

1.     alis
2.     bulu mata
3.     cambang
4.     dahi
5.     bahu
6.     kumis
7.     ubun-ubun
8.     bibir
9.     dagu
10.   geraham
11.   gigi seri
12.   gusi
13.   langit-langit
14.   tenggorokan
15.   janggut
16.   jari
17.   jari tengah
18.   kelingking
19.   jari manis
20.   ibu jari
21.   kemaluan laki-laki
22.   kemaluan perempuan
23.   ketiak
24.   dada
25.   keringat
26.   lengan
27.   mata kaki
28.   ompong
29.   otak
30.   paha
31.   pantat
32.   paru-paru
33.   pergelangan tangan
34.   pinggang
35.   pipi
36.   pundak
37.   rusuk
38.   siku
39.   telunjuk
40.   tengkuk (kuduk)
41.   tubuh
42.   tumit
43.   tungkai
44.   betis
45.   urat


c.       Dokumentasi
Data dalam sebuah penelitian dapat pula berasal dari dokumentasi. Dokumentasi berasal dari kata dokumen yang berarti barang-barang tertulis, seperti buku, majalah, notula, gambar, peraturan, dsb. Pemerolehan data dengan dokumentasi sering dilakukan jika peneliti meneliti teks, baik fiksi maupun nonfiksi.
Contohnya, saat peneliti meneliti teks sastra, pemerolehan data tersebut dapat diambil dengan cara dokumentasi. Tapi, dengan catatan, dokumen yang dipilih harus memiliki kredibilitas yang tinggi. Kalau itu berupa teks sastra, hal itu berarti teks tersebut harus memiliki unsur-unsur yang menarik untuk diteliti.

d.      Observasi
Pengumpulan data dengan metode observasi , dokumentasi, wawancara, dan kuesioner memerlukan instrumen yang berbeda-beda.  Alat ini biasanya adalah alat untuk mengukur data kualitatif dan data kualitatif yang dikuantitatifkan.  Alat ukur mutlak digunakan dalam penelitian, oleh karena itu dalam memilih alat ukur harus serius dan hati-hati karena akan mempengaruhi keberhasilan dalam penelitian.
Notoatmodjo mendefinikan observasi sebagai jiwa secara aktif dan penuh perhatian untuk menyadari adanya rangsangan.  Rangsangan itu menyentuh indra dan menimbulkan keinginan untuk melakukan pengamatan.
Dalam sebuah penelitian, yang dimaksud dengan pengamatan tidak hanya sekedar melihat, melainkan perlu keaktifan untuk meresapi, mencermati, mamaknai, dan akhirnya mencatat. Tindakan yang terakhir itulah yang perlu dan penting dilaksanakan. Karena daya ingat manusia terbatas untuk menyimapan semua informasi tentang apa yang diobservsasi dan hasil pengamatan. Catatan yang berisi hal-hal yang harus diobservasi dinamakan panduan observasi.  Sedangkan catatan  yang merekam hasil observasi dapat berupa gambar dan catatan panjang sebagai potret saat observasi dilakuakan atau  berupa sebuah check list yang berupa suatu daftar yang berisi subjek dan gejala-gejala yang harus diamati berikut penilaiannya dinamakan alat bantu observasi. Saat ini alat bantu tersebut dapat berupa tape recorder, kamera, dan alat perekam elektronik lainnya.
Jadi, dalam metode observasi alat yang digunakan bisa berupa pedoman observasi, catatan, check list, maupun alat perekam lainnya (kamera, tape recorder, cideo recorder, dan sebagainya.).
Dilihat dari pelaksanaannya observasi dibedakan menjadi dua jenis
1.      Observasi Nonsistemis
Pada observasi ini, pengamat tidak mempergunakan  panduan observasi dan alat perekam lainya. Seluruh hasil dari  observasi dicatat setelah semua observasi  selesai dilaksanakan.

2.    Observasi Sistemis
Dalam observasi ini pengamat mempergunakan  pedoman observasi dan atau alat perekam lainnya. Sudah tentu hasil yang diperoleh  jauh lebih baik dari cara yang pertama.
Pada observasi sistemis ada kalanya dipakai  suatu format rating scale sebagai alat bantu observasi.  Format ini mengandung topik yang diamati berikut skalanya. Skala ini harus diisi nilainya menurut persepsi pengamat. Agar pengamatan dapat dikuantitatifkanmaka orang menggunakan skala Likert sehingga  data kuantitatif  yang ada diubah menjadi data interval.
Contoh  seorang peneliti ingin mengetahui ketrampilan dalam suatu pelatihandengan menggunakan metode observasi. Salah satu aspek ketrampilan yang diteliti adalah melakukan presentasi rating scale yang digunakan mempunyai 5 tingkat dari tingkat yang paling rendah ke tingkat yang terbaik. Nilai 1 dinyatakan sebagai “Tidak memuaskan”, nilai 2 dinyatakan sebagai  “Kurang Memuaskan”, niali 3 dinyatakan sebagai “ cukup Memuaskan”, nilai 4 dinyatakan sebagai “memuaskan”, dan nilai 5 dinyatakan sebagai “ Sangat Memuaskan”. Pada check list ini peneliti tinggal membubuhkan tanda check pada kolom penilaian yang dianggap cocok.
Skala yang digunakandi sini adalah skala Linkert yang model pengukurannya  dianggap sama dengan skala interval.
Keterampilan
Pengamatan
1
2
3
4
5
Menyamaikan Pengantar





Menyampaiakan Tujuan Penelitian





Manyampaikan Pertanyaan kepada kelompok





Manyampaikan Pertanyaan kepada individu





Mempergunakan Nama Peserta






Observasi sistematis dapat pula diterapkan pada studi perilaku seseorang dalam pembelajaran, misalnya kita ingin tahu perilaku disiplin siswa, tangungjawab siswa dalam proses pembelajaran bahasa Indonesia.
Contoh lembar obeservasi studi perilaku seseorang dalam pembelajaran, misalnya kita ingin tahu perilaku disiplin siswa, tangungjawab siswa dalam proses pembelajaran bahasa Indonesia sebagai berikut.
Lembar Observasi
               Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia                          Hari, tanggal   :……………
               Materi               ; ………………..                            Observer          :…………….
No
Nama Siswa
Disiplin
Tanggung Jawab
Jumlah
Rata-rata
1
2
3
4
5
6
7
8




































               Keterangan:
1.      Tidak terlambat
2.      Mengumpulkan tugas tepat waktu
3.      Selalu memperhatikan dalam proses pembelajaran
4.      Selalu mengerjakan tugas sesuai aturan yang disepakati
5.      Berpakaian rapi.
6.      Mandiri tidak berusaha minta bantuan kepada siswa lain
7.      Mengumpulkan pekerjaan tepat waktu
8.      Berani mempresentasikan hasil pekerjaan
Rentang nilai
Sangat baik     : 5
Baik                 : 4
Cukup             : 3
Kurang                        : 2
Sangat kurang : 1
   Ada hal yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan observasi, yaitu sikap peneliti yang tidak memata-matai dan tidak menimbulkan kecurigaan responden. Sikap yang wajar  akan sangat membantu pengamat dalam mendapatkan hasil yang alami.  Karena bila  responden tahu sedang kita amati, makaakan timbul prilaku-rilaku yang tidak wajar atau tidak alami, yang bukan sebagai suatu kebiasaannya. Untuk itu diperlukan pendahuluan  agar bisa tercipta suasana rapport ( suasana yang merupakan hubungan erat dan bersahabat) anatara pengamat dan responden. Rapport dapat tercipta dengan cara sebagai berikut ;
a.       Ikut serta dalam kegiatan yang dilakukan responden,
b.      menjadikan diri sendiri sebagai orang dalam, kawanan dari responden,
c.       sopan dan ramah menerangkan maksud kedatangannya dan menyatakan betapa pentingn, ya informasi yang bakal diperoleh.
d.      perlu ada tokoh pengantar yang dikenal baik oleh responden sebagai penghubung.
            Sesuai dengan etika penelitian, diharuskan terlehbih dahulu  minta persetujuan responden bahwa akan dilaksanakan penelitian terhadapnya. Karena hal ini sering terjadi ppeneliti menggunakan kamera atau perekam secara tersembunyi, dan kemudian hasilnya dipublikasikan, perbuatan ini sebetulnya tidak etis.

e.       Angket
Angket  sering disebut sebagai kuesioner. Angket merupakan teknik atau cara pengumpulan data secara tidak langsung.  Instrumen atau alat pendgumpulan datanya juga disebut sebagai angket.
Jenis angket sama dengan wawancara. Bentuknya bias berupa pertanyaan terbuka, pertanyaan berstruktur dan pertanyaan tertutup.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan instrument angket atau kuesioner adalah : a) buatlah pengantar atau petunjuk pengisian sebelum butir pertanyaan, b) butir pertanyaan dirumuskan secara jelas, c) untuk setiap pertanyaan terbuka dan bestruktur disediakan kolom untuk menuliskan jawaban.
Berikut ini disajikan contoh angket.

Petunjuk Isian :
Jawablah pertanyaan berikut ini dengan mengisi tempat kosong yang tersedia dengan memberi tanda check (√ ) pada pilihan yang mewakili jawaban saudara.
Nomor Responden                                           :…………….
Tanggal pengisian                                               :…………….

1.  Jenis kelamin

1)  Pria

2)  Wanita

2.  Usia

1)  15 – 24 tahun

2)  25 – 40 tahun

3)      40 tahun keatas


3.  Tingkat pendidikan terakhir

1)  Pendidikan Tinggi

2)  SMA / sederajat

3)  SMP / sederajat

4)  SD

5)  Tidak Sekolah

4.  Pekerjaan

1)  Tidak Bekerja

2)  Pensiunan

3)  Pelajar / Mahasiswa

4)  Pegawai Negeri

5)  Pegawai Swasta

6)  Lain - lain

5.  Status Perkawinan

1)  Kawin

2)  Belum Kawin

3)  Janda / Duda

6.  Agama / Kepercayaan

1)  Islam

2)  Kristen

3)  Hindu

4)  Budha

5)  Lain – lain




Petunjuk Isian :


Bacalah setiap pertanyaan dengan seksama, berikan pendapat saudara dengan memberi tanda check (√ ) pada tempat kosong yang tersedia yang mewakili jawaban saudara, kejujuran saudara dalam memberikan pendapat akan membantu dalam evaluasi.
B.  Penilaian Terhadap Dukungan Keluarga.



NO

Pertanyaan Yang Berkaitan Dengan
Dukungan Keluarga

Ya

Tidak

1
DUKUNGAN EMOSIONAL DAN
PENGHARGAAN


1
Keluarga selalu mendampingi saya dalam perawatan.


2
Keluarga selalu memberi pujian dan perhatian kepada
saya.



3
Keluarga     tetap    mencintai     dan    memperhatikan
keadaan selama saya sakit.


4

Keluarga dan tetangga memaklumi bahwa sakit yang
saya alami adalah suatu musibah.



E.     Simpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
a.       Instrumen penelitian merupakan alat yang digunakan untuk mengukur variabel dalam rangka mengumpulkan data
b.      Instrumen yang baik harus memenuhi dua persyaratan penting yaitu valid dan reliabel.
c.       Langkah membuat instrument ada tiga belas.
d.      Jenis instrument  antara lain intrumen tes dan nontes.

REFERENSI
Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktis. Jakarta : Rineke Cipta
Muljono, Pudji. 2002. Penyusunan dan Pengembangan Instrumen Penelitian” Makalah disampaikan pada Lokakarya Peningkatan Suasana Akademik  Jurusan Ekonomi FIS-UNJ tanggal 5 sampai dengan 9 Agustus 2002.
Sandjaja dan Albert Heriayanto. 2006. Panduan Penelitian. Jakarta: Prestasi Pustakaraya
Safari. 2004. Evaluasi Pembelajaran. Jakarta: Depdiknas
Sevilla. Consuelo.G. 1993. Pengantar Metode Penelitian. alih bahasa Alimuddin Tuwu. Jakarta: UI Pres.
Sukmadinata, Nana Syaodih. 2005. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.






















PENGEMBANGAN INSTRUMEN PENELITIAN KUANTITATIF



Disajikan dalam diskusi kelas Mata Kuliah Penelitian Kuantitatif dan Statistik,
Program Pascasarjana (S2) Pendidikan Bahasa dan Sastra
Universitas Negeri Surabaya.



MAKALAH


Universitas Negeri Surabaya - Copy.jpg 




Angga P 11783066
Arista Ambarwati 117835009
Danar Takdir S 117835430
Novita Rahayu 117835428
Rasmian117835065
Angkatan 2011/2012



UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
PROGRAM PASCASARJANA (S2)
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA
2011