A. Pendahuluan
Dewasa ini fenomena yang ada dalam masyarakat adalah pengentasan kemiskinan. Digembar-gemborkan lewat media masa. Tingginya angka kemiskinan pada kenyataan, dianggap sebagai bukan sesuatu yang penting. Tapi dianggap sesuatu yang hanya dinilai dengan laporan-laporan. Puisi dengan judul Orang-orang Miskin mencoba menenguak sisi kehidupan yang ada di Indonesia.
Rendra dalam puisinya yang berjudul “Orang-oranag Miskin” ingin menunjukkan keadaan yang sebenarnya masyarakat kita. Kata-kata, kalimat-kalimat yang ditulis Rendra merupakan laporan tentang kondisi yang ada di sekitar. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dari puisi tersebut diperlukan pengetahuan untuk hal itu. Penafsiran salah satu cara dalam memahami suatu karya sastra. Hermeneutik, suatu teori untuk menafsirkan suatu karya sastra.Kemudian kita memerlukan seperangkat teori tentang interpretasi agar pesan itu tidak diterima secara bias. Terjadinya pro dan kontra mengenai keberadaan hermeneutika selama ini sebenarnya menurut hemat penulis adalah dalam wilayah produk atas pemaknaan, penafsiran terhadap hermeneutika itu sendiri. Padahal kalau kita cermat dari hermeneutika, ia hanyalah sebuah “alat”. Yang namanya sebuah alat sudah suatu keniscayaan memiliki keberagaman fungsi dan makna.
Suatu contoh, uang atau duit. Dengan uang orang bisa membangun masjid, membantu sesama manusia, bersekolah/kuliah, bahkan dengan uang orang bisa membunuh, dengan uang Yusron bisa naik haji. Jadi alangkah kejamnya kalau hermeneutika, uang atau alat yang lainnya dijadikan sebagai objek kesalahan, tanpa pernah melihat kepada siapa yang menggunakannya.
B. Kajian Teori
Istilah Hermeneutika, berasal dari bahasa Yunani hermeneuine dan kata benda hermenia yang masing berarti “menafsirkan” dan “penafsiran” (interpretasi).
Berdasarkan bentuk dasar makna hermeneuein dibagi menjadi tiga. Ricard Palmer (2005; 16-33).
a. Hermeneuein sebagai mengatakan ‘‘to say”
Ini berasal dari asal mula hermes dalam memberitahukan kepada manusia. Hermes merupakan utusan dari Tuhan dalam tugasnya untuk memberitahukan kepada manusia. Ini mengasumsikan bahwa utusan di dalam memberikan kata, adalah mengumumkan dan menyatakan sesuatu, funsinya tidak hanya untuk menjelaskan tetapi untuk menyatakan.
b. Hermeneuein sebagai menjelaskan “to explain”
Hal yang paling esensial dari kata-kata bukanlah mengatakan saja sesuatu saja, menjelaskan sesuatu, merasionalkannya, membuat jelas. Seseorang bisamengekspresikan situasi tanpa harus menjelaskan, ekspresi merupakan interpretasi, dan menjelaskan juga merupakan bentuk interpretasi.
c. Hermeneuein sebagai menerjemahkan “To Translate”
Pada dimensi ini menafsirkan bermakna ‘to translate” (menerjemahkan). Menerjemahkan adalah bentuk khusus dari proses interpretasi dasar “membawa sesuatu untuk dipahami”. Dalam konteks ini seseorang membawa apa yang asing, jauh dan tidak dapat dipahami ke dalam mediasi bahasa orang itu sendiri.
Suwardi Endraswara, (2003:44-45) mengemukakan dalam bukunya metodologi Penelitian sastra ,hermeneutika menurut Suwardi berarti tafsiran. Dalam studi sastra juga mengenal hermeneutik sebagai tafsir sastra. Suwardi mengemukakan enam pokok dalam menafsirkan sastra yang harus diperhatikan yaitu;
a) Penafsiran yang berawal dari pendapat, bahwa teks sastra sudah jelas. Isyarat-isyarat dan susunan-susunan teks membuka kesempatan bagi pembaca yang kompeten untuk menemukan arti yang tepat. Penghayatan diperlukan dikala penafsiran. Tanpa penghayatan, penafsiran akan dangkal.
b) Penafsiran yang berusaha menyusun kembali arti historik. Penafsir berpedoman pada maksud si pengarang seperti tampak pada teks sendiri atau di luar teks. Penafsiran juga disusun dengan “cakrawala harapan” pada pembaca pada waktu itu. Penafsir menyusun kembali pandangan sosio budaya masyarakat terhadap sastra yang hidup dalam batin mereka. Penafsir juga menghubungkan dengan aspek sejarah suatu teks. Contoh; berhubungan dengan masalah politik.
c) Penafsiran hermeneutik baru yang diwakili oleh Gadamer berusaha menggabungkan masa silam dengan masa kini. Penafsir sadar , ia berdiri ditengah-tengah arus sejarah baik penerima maupun penafsiran; cara ia mengerti sebuah teks turut dihasilkan sebuah tradisi. Penafsiran ditentukan indifidu dan masyarakatnya. Proses penafsiran ini sambil “melebur cakrawala masa silam dan masa kini”. Sasarannya adalah agar penafsir memahami teks dan menerapkannya yang baku dan lepas dari keterkaitan waktu pada situasi itu sendiri.
d) Penafsiran yang bertolak pada pandangannya sendiri mengenai sastra. Ini sering dilakukan dengan presentasi bahwa kita bisa menunjukkan arti teks yang pokok. Contoh; peneliti menafsirkan dari aspek feminis kary-karya NH. Dhini, Isma Sawitri dan sebagainya. Penafsiran terfokus terhadap gerakan wanita dalam rangka emansipasi, peneliti dapat pula memahami karya-karya pengarang wanita yang bernafaskan emansipasi.
e) Penafsiran yang berpangkal pada suatu problematik tertentu misalkan dari aspek politik, psikologis, sosiologis, moral, dan senagainya. Harmeneutik ini berasumsi bahwa penafsiran karya sastra bersifat parsial, hanya bagian tertentu saja yang sejalan dengan isu strategis. Hal ini dilakukan ketika seseorang harus menjadi pembicara pada suatu temu ilmiah yang tematik.
Penafsiran yang tak langsung berusaha agar memadahi sebuah teks diartikan, melainkan henya ingin menunjukkan kemungkinan-kemungkinan yang tercantum di dalam teks, sehingga pembaca sendiri dapat menafsirkannya. Pendekatan yang berpedoman pada pembaca ini dinamakan estetik reseptif. Pengarang memepergunakan aspek retorik, stilistika, struktural, tetapi tetap ada juga bidang-bidang yang dibiarkan kosong; peristiwa-peristiwa yang tidak diceritakan secara lengkap, tokoh tidak diajukan secara utuh, dan diajukan teka-teki tetapi tidak dijawab. Hal-hal kosong ini dapat mengaktifkan pembaca
C. ANALISIS PUISI “Orang-orang Miskin”
Analisis ini diharapkan pembaca dapat mendapat informasi, tentang puisi Orang-orang Miskin berkaitan dengan arti dan hasil interpretasi. Puisi tersebut dapat dilihat sebagai berikut :
Orang-orang miskin Pengarang: W.S Rendra Orang-orang miskin di jalan, yang tinggal di dalam selokan, yang kalah di dalam pergulatan, yang diledek oleh impian, janganlah mereka ditinggalkan. Angin membawa bau baju mereka. Rambut mereka melekat di bulan purnama. Wanita-wanita bunting berbaris di cakrawala, mengandung buah jalan raya. Orang-orang miskin. Orang-orang berdosa. Bayi gelap dalam batin. Rumput dan lumut jalan raya. Tak bisa kamu abaikan. Bila kamu remehkan mereka, di jalan kamu akan diburu bayangan. Tidurmu akan penuh igauan, dan bahasa anak-anakmu sukar kamu terka. Jangan kamu bilang negara ini kaya karena orang-orang berkembang di kota dan di desa. Jangan kamu bilang dirimu kaya bila tetanggamu memakan bangkai kucingnya. Lambang negara ini mestinya trompah dan blacu. Dan perlu diusulkan agar ketemu presiden tak perlu berdasi seperti Belanda. Dan tentara di jalan jangan bebas memukul mahasiswa. Orang-orang miskin di jalan masuk ke dalam tidur malammu. Perempuan-perempuan bunga raya menyuapi putra-putramu. Tangan-tangan kotor dari jalanan meraba-raba kaca jendelamu. Mereka tak bisa kamu biarkan. Jumlah mereka tak bisa kamu mistik menjadi nol. Mereka akan menjadi pertanyaan yang mencegat ideologimu. Gigi mereka yang kuning akan meringis di muka agamamu. Kuman-kuman sipilis dan tbc dari gang-gang gelap akan hinggap di gorden presidenan dan buku programma gedung kesenian. Orang-orang miskin berbaris sepanjang sejarah, bagai udara panas yang selalu ada, bagai gerimis yang selalu membayang. Orang-orang miskin mengangkat pisau-pisau tertuju ke dada kita, atau ke dada mereka sendiri. O, kenangkanlah : orang-orang miskin juga berasal dari kemah Ibrahim Yogya, 4 Pebruari 1978 |
Dalam penafsiran karya sastra diperlukan juga penghayatan, karena tanpa penghayatan, maka hasil dari penafsiran akan terlihat dangkal. Penafsiran dapat dimulai dengan bagian perbagian, maupun secara menyeluruh yang kemudian menuju ke arah bagian-bagian. Penafsiran ini akan dimulai dari kata-kata yang ada dikatakan dalam puisi Orang-orang Miskin. Dalam bait pertama kata-kata yang hendak ditonjolkan adalah sebagai beriku;
Orang-orang miskin di jalan,
yang tinggal di dalam selokan,
yang kalah di dalam pergulatan,
yang diledek oleh impian,
janganlah mereka ditinggalkan
yang tinggal di dalam selokan,
yang kalah di dalam pergulatan,
yang diledek oleh impian,
janganlah mereka ditinggalkan
“miskin, selokan, kalah, diledek, ditinggalkan”
Dikatakan dalam kata-kata bergaris bawah pada puisi bait pertama di atas seirama dengan judulnya yaitu Orang-orang miskin. Dilanjutkan dengan penjelasan dari bait pertama, bahwa mereka (orang-orang miskin) perlu perhatian. Dalam fenomena dimasyarakat, sering kita jumpai Gepeng (gelandangan dan pengemis) sepertinya tak pernah berkurang, malah terkadang tambah dan bertambah. Di bait pertama pencipta puisi mengharapkan kepada kita (pembaca) untuk tidak meninggalkan mereka. Dalam arti, paling tidak kita memberi bantuan sesuatu yang berguna bagi mereka.
Pada bait kedua kat-kata yang hendak ditojolkan adalah, bau, melekat, dan bunting.
“Angin membawa bau baju mereka.
Rambut mereka melekat di bulan purnama.
Wanita-wanita bunting berbaris di cakrawala,
mengandung buah jalan raya”
Rambut mereka melekat di bulan purnama.
Wanita-wanita bunting berbaris di cakrawala,
mengandung buah jalan raya”
Kata-kata tersebut menyatakan keadaan yang tidak enak dirasakan bagi orang yang berkondisi normal (ekonomi menegah). Pada bait ini menjelaskan bahwa kondisi orang miskin tersebut berbaju yang kotor, keadaan badan yang tidak bersih, dan wanita-wanita yang sedang mengandung yang berada di pinggir-pinggir jalan. Dalam kenyataan, gepeng (gelandangan dan pengemis) mayoritas adalah wanita. Secara psikologi, orang akan lebih merasa kasihan melihat pengemis wanita dibandingkan dengan pengemis pria. Kondisi ini menyebar hampir di seluruh wilayah perkotaan.
Pada bait ketiga kata-kata yang ditonjokan adalah; dosa, gelap, rumput dan lumut, abaikan. Kata-kata tersebut meberikat gambaran kepada kita bahwa dosa, adalah bagian dari orang miskin. Dan orang miskin adalah tumbuhan yang tidak bergna yang ada d ijalan-jalan. Namun pengarang tetep memharapkan bahwe meraka harus kita beri perhatian, seperti dalam kalimat terakhir tersebut dibawah ini.
“Orang-orang miskin. Orang-orang berdosa.
Bayi gelap dalam batin. Rumput dan lumut jalan raya.
Tak bisa kamu abaikan.”
Bayi gelap dalam batin. Rumput dan lumut jalan raya.
Tak bisa kamu abaikan.”
Bait keempat kata-kata yang ditojolkan oleh pengarang yaitu; remeh, bayangan, dan igauan.
Bila kamu remehkan mereka,
di jalan kamu akan diburu bayangan.
Tidurmu akan penuh igauan,
dan bahasa anak-anakmu sukar kamu terka
di jalan kamu akan diburu bayangan.
Tidurmu akan penuh igauan,
dan bahasa anak-anakmu sukar kamu terka
Pada bait ini pengarang memberikan peringatan kepada kita. Jika kita menelantarkan mereka, maka hidup kita tidak tentram. Pembaca, (masyarakat) akan mengalami ketidaktenagan jiwa. Bahkan hubungan denga keluarga (anak) akan tidak harmonis).
Bait kelima pada puisi Orang-orang apa yang hendak di sampaikan bertambah luas.
Jangan kamu bilang negara ini kaya
karena orang-orang berkembang di kota dan di desa.
Jangan kamu bilang dirimu kaya
bila tetanggamu memakan bangkai kucingnya.
Lambang negara ini mestinya trompah dan blacu.
Dan perlu diusulkan
agar ketemu presiden tak perlu berdasi seperti Belanda.
Dan tentara di jalan jangan bebas memukul mahasiswa.
karena orang-orang berkembang di kota dan di desa.
Jangan kamu bilang dirimu kaya
bila tetanggamu memakan bangkai kucingnya.
Lambang negara ini mestinya trompah dan blacu.
Dan perlu diusulkan
agar ketemu presiden tak perlu berdasi seperti Belanda.
Dan tentara di jalan jangan bebas memukul mahasiswa.
Seperti dalam kalimat “ Lambang negara ini mestinya trompah dan blacu” kalimat ini mempunyai arti bahwa lambang negara Indonesia yaitu Pancasila diminta untuk diganti dengan trompah dan blacu. Analoginya trompah adalah alas kaki, dan kain blacu adalah kain yang mutunya jelek, jadi lebih tepat apa bila lambang negara diganti barang yang kurang berguna. Karena Pancasila yang berisi lima sila dan 45 butir-butir Pancasila sudah tidak lagi merefleksi pada bangsa kita.
Kemudian dua baris kalimat terakhir bait kelima menjelaskan bahwa fenomena yang ada, birokrasi di Indonesia sangat kaku, birokrasi indonesia merujuk sistem yang ada ada jaman Belanda. Belanda bersifat feodalisme, seorang bawahan harus berpakaian rapi dan berdasi apabila hendak bertemu dengan presiden. Sedangkan pada kalimat terakhir mengisyaratkan bahwa mahasiswa adalah manusia yang bisa dipukuli seenakknya oleh tentara bila mengadakan aksi dijalan. Namaun pada kenyataannya sampai sekarangpun sering kita lihat dimedia televisi bentrok antara aparat dan mahasiswa apabila ada kegiatan unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa.
Dalam bait keenam pengarang berusaha mengajak pembaca untuk menghaayal dalam mimpi.
Orang-orang miskin di jalan
masuk ke dalam tidur malammu.
Perempuan-perempuan bunga raya
menyuapi putra-putramu.
Tangan-tangan kotor dari jalanan
meraba-raba kaca jendelamu
masuk ke dalam tidur malammu.
Perempuan-perempuan bunga raya
menyuapi putra-putramu.
Tangan-tangan kotor dari jalanan
meraba-raba kaca jendelamu
Dikatakan bahwa bila kita tetap menelantarkan mereka, maka keadaan itu akan masuk ke dalam alam mimpi kita. Kita tidak ingin, anak kita disuapi oleh wanita-wanita dari jalanan, kiata tidak ingin mobil atau kendaraan kita (bila punya) dipegang tangan-tangan kotor.
Pada bait ketujuh lebih luas lagi pengarang mengarahkan fenomena yang tejadi pada waktu itu. Dalam kalimat pertama, mempunya maksud bahwa jumlah mereka banyak. Dan tak bisa disembunyikan. “tidak bisa dimistikkan menjadi nol”. Pada masa itu judi undian nomor merajalela, “mistik” pada kata tersebut bukan berarti hal yang berbau mistis, namun berawal dari istilah dalam judi undian nomor dalam pengutak-atikan angka. Jadi analoginya yaitu banyaknya kemiskinan tidak bisa di sembunyikan atau di dianggap tidak ada. Ideologi pembaca yang bersifat ideal, oleh pengarang diharapkan dapat berhenti sejenak dalam berpikir idealis .Bait ini menyentuh insan agama yang mempelajari agama namun tidak merefelksinya dimasyarakat. Aparat pemerintahpun disudutkan denga fakta kondisi orang miskin yang hidup dengan segala macam penyakit karena ketidakmampuan mereka dalam menjaga kesehatan. Golongan senimanpun sebenarnya oleh pengarang dihadapkan dengan fakta di lapangan bahwa mereka juga tidak terlalu memperdulikan dengan kondisi sekitar (orang miskin).
Jumlah mereka tak bisa kamu mistik menjadi nol.
Mereka akan menjadi pertanyaan
yang mencegat ideologimu.
Gigi mereka yang kuning
akan meringis di muka agamamu.
Kuman-kuman sipilis dan tbc dari gang-gang gelap
akan hinggap di gorden presidenan
dan buku programma gedung kesenian.
Mereka akan menjadi pertanyaan
yang mencegat ideologimu.
Gigi mereka yang kuning
akan meringis di muka agamamu.
Kuman-kuman sipilis dan tbc dari gang-gang gelap
akan hinggap di gorden presidenan
dan buku programma gedung kesenian.
Kata-kata yang menonjol dalam bait di atas
Kata-kata yang terlihat menojol adalah, mistik, ideologi, agama, sipilisdan tbs, gorgen kepresidenan, programa. Kata-kata tersebut menjelaskan bahwa fenomena kemiskinan, sangat berkaitan dengan semua aspek dalam masyarakat, ideologi , agama, dinas kesehatan, dan pemerintah waktu itu.
Pada bait terakhir pengarang secara nyata menjelaskan bahwa orang-orang miskin dalam puisi “Orang-orang miskin” telah selama bertahun-tahun. Dianalogikan oleh pengarang seperti udara yang panas dan seperti gerimis. Disini pengarang menjelaskan bahwa orang miskin mempunyai dilema, terus dengan kondisinya, dengan resiko akan mati atau tidak ada perubahan hidup, atau melanjutkan hidup mengan langkah kriminal dengan berbuat jahat kepada kita (orang lain yang lebih berada daripada mereka). Di akhir bait ada himbauan untuk kita bahwa mereka juga berasal dari keturuan yang sama dengan kita. Berasal dari umat Nabi Ibrahim juga.
Orang-orang miskin berbaris sepanjang sejarah,
bagai udara panas yang selalu ada,
bagai gerimis yang selalu membayang.
Orang-orang miskin mengangkat pisau-pisau
tertuju ke dada kita,
atau ke dada mereka sendiri.
O, kenangkanlah :
orang-orang miskin
juga berasal dari kemah Ibrahim
bagai udara panas yang selalu ada,
bagai gerimis yang selalu membayang.
Orang-orang miskin mengangkat pisau-pisau
tertuju ke dada kita,
atau ke dada mereka sendiri.
O, kenangkanlah :
orang-orang miskin
juga berasal dari kemah Ibrahim
Kata-kata yang ditonjolkan oleh pengarang adalah sejarah, panas, gerimis, pisau, dada, dan Ibrahim. Kata sejarah mempunyai makna bahwa kejadian itu sudah berlangsung lama. Panas dan gerimis adalah analogi keadaan yang selalu ada dan silih berganti setiap waktu. Pisau-pisau merupakan tuntutan atau pilihan yang sangat sulit untuk mereka orang miskin, mereka merasa dilematis, mereka lebih memilih hidup sebagai orang miskin selamanya atau memaksa diri lepas dari kondisi kemiskinan dengan cara mengintimidasi orang laen.
Secara global makna dari puisi “Orang-orang miskin “ adalah pesan yang di harapkan oleh pengarang tentang kehidupan orang miskin. Pembaca (kita) diharapkan dapat memperhatikan dan memberikan solusi kepada mereka agar kondisi mereka tidak statis pada level itu.
D. Simpulan
Secara garis besar puisi diatas dapat ditafsirkan sebagai bentuk pengharapan bagi penulis/pengarang agar pembaca/masyarakat, yang terdiri dari kita kaum akademis, masyarakat agama, masyarakat seni, dan masyarakat pemerintah mau memberikan sesuatu yang berguna bagi merka orang miskin. Pemberian sedekah ataupun uluran tangan dalam bentuk yang lain sangat diharapkan dengan harapan dapat mengubah walaupun sedikit, kondisi orang-orang miskin yang ada di sekitar kita.
DAFTAR PUSTAKA
Palmer, Richard E, 2003. Hermeneutics Interpretation Theory In Schlemacher, Dilthey Heidegger And Gadamer, .Terj. Musnur Hery dan Damanhuri Muhamed, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, Cet III.
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Satra, Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar