Entri Populer

Sabtu, 26 November 2011

postmodernism


Postmodern dalam Penelitian Kualitatif

A.  Pengantar
Dalam sejarah peradaban, setidak-tidaknya ada tiga era atau zaman yang memiliki ciri khasnya masing-masing, yaitu pra-modern, modern dan post-modern. Zaman modern ditandai dengan afirmasi diri manusia sebagai subjek. Pernyataan Rene Descartes, cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada), telah menghantarkan manusia  sebagai makhluk  yang  dibimbing  oleh  rasionya  sebagai  subjek  dan berorientasi pada dirinya sendiri. Karena itu, rasio atau akal budi manusia menjadi pengendali manusia terutama tingkah lakunya. Selanjutnya muncullah era kontemporer, yang disebut postmodern. Pemikiran pada masa ini memfokuskan diri pada teori kritis yang berbasis pada kemajuan dan emansipasi. Intisari  dari  gerakan  postmodern  adalah  ketidakpercayaannya  dan penolakannya terhadap gerakan modern yang dinyatakannya telah gagal menepati janji-janjinya untuk membahagiakan umat manusia. Gerakan ini yang pada mulanya mencuat dalam bidang bidang arsitektur dan estetika, segera merambah pada berbagai aspek kehidupan manusia yang mempunyai variasi yang luar biasa banyaknya.
Tahapan seperti itu kurang lebih sama dengan tipe pendekatan dalam penelitian kualitatif. Dalam penelitian kualitatif, pendekatan itu juga adalah upaya untuk mencari, menemukan, atau memberi dukungan akan kebenaran yang relatif,  yang sebagai suatu model biasanya dikenal dengan  paradigma.  Ada tiga pendekatan, yaitu positivisme, postpositivisme dan postmodernisme.
Baik positivisme maupun postpositivisme, para ahli terpusat pada upaya membangun kebenaran dengan mencari tata hubungan rasional-logis, baik secara linier pada positivist, maupun secara kreatif. Pada era Postmodern para ahli tidak mencari hubungan rasional-integratif, melainkan menemukan secara kreatif kekuatan  momental dari berbagai sesuatu yang saling independen dan dapat dimanfaatkan.
Akhir era postposivistisme menampilkan pemikiran sistematik, sedang awal berfikir postmodern perlu mulai mengembangkan pemikiran sinergik. Berfikir sistemik sekaligus sinergik dapat dilakukan dalam paradigma postmodern.
Berkaitan dengan ketiga macam pendekatan di atas (dua pendekatan telah dibahas pada pertemuan sebelumnya), makalah ini berusaha mengemukakan secara ringkas mengenai postmodernisme sebagai pendekatan dalam penelitian kualitatif. Pembahasan tentangnya meliputi: konsep dan sejarah perkembangan, kritik postmodern serta metode pendekatanya, penerapan dan simpulan.

B.   Sejarah Perkembangan dan Konsep
1.    Sejarah Perkembangan
Mencuatnya postmodern ke permukaan secara mengejutkan pada awalnya tumbuh di lingkungan arsitektur. Charles Jencks dengan bukunya The Language of Post-modern Architecture menyebut postmodern sebagai upaya mencari pluralisme gaya arsitektur setelah ratusan terkukung satu gaya (Suseno,2005:102). Postmodernisme dalam arsitektur kontemporer itu lahir di St. Louis, Missouri, 15 Juli 1972, pukul 3:32 sore, dengan merobohkan bangunan mewah komplek perumahan. Ketika pertama kali didirikan, proyek perumahan Pruitt-Igoe di St. Louis itu diklaim sebagai lambang arsitektur modern. Bangunan yang dinyatakan sebagai simbol modernisasi yang menggunakan teknologi untuk menciptakan masyarakat utopia itu, secara ironis dihancurkan oleh para penghuninya karena dipandang tidak melambangkan humanisasi. Pemerintah yang telah menghabiskan jutaan dolar akhirnya menyerah dan bangunan itu diledakkan dengan dinamit. Peristiwa inilah menurut Jencks, menandai kematian modernisme dan pertanda kelahiran postmodernisme.
Namun, menurut Ratna (2007:146) istilah postmodernisme  sebenarnya telah muncul pada tahun1870-an, digunakan oleh seniman Inggris John Watkins chaman. Ada beberapa ahli berpendapat, istilah postmodernisme baru muncul kembali pada tahun 1930-an, melalui Federico de Onis, sebagai salah satu reaksi terhadap stagnasi  modernisme, dan mulai dibicarakan secara luas sekitar tahun 1960-an. Sejak saat itu prefiks post mulai digunakan dalam berbagai bidang, seperti seni visual, musik, tari, filsafat, sastra, dan sebagainya. Tak lepas dari modernisme, postmodernisme juga berkembang dalam berbagai ilmu seperti, psikologi, sastra, seni, bahasa, dan sebagainya. Postmodern dapat dikatakan bisa menyediakan suprastruktur ideologisnya, sedangkan modernisme menyediakan infrastruktur  material bagi kepentingan umat manusia.

2.    Postmodern dalam Filsafat
Secara etimologis postmodern terdiri atas dua kata, post dan modern. Secara etimologis postmodern terdiri atas dua kata, post dan modern. Dalam Kamus Bahasa Inggris (Wijowasito, 1980:154) kata “post”, diartikan dengan “setelah”. Modern itu sendiri berasal dari kata latin Modo, yaitu, baru saja (Alwasilah, 2008:121). Apabila kedua kata itu disandingkan berarti kelanjutan atau melampaui, akibat dari, setelah, pasca, pengembangan, penolakan modern. Suseno (2005:102) mengatakan bahwa postmodern juga mengandung arti sebagai koreksi terhadap modern itu sendiri yang berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat terjawab di zaman modern.
 Postmodern itu sendiri muncul sebagai bagian era modern. Ketika post-modern mulai memasuki ranah filsafat, maka kata “post” dalam postmodern tidak dimaksudkan lagi sebagai sebuah periode atau waktu semata, tetapi lebih merupakan sebuah konsep yang hendak melampaui segala hal yang berbau modern (Sugiharto, 1996:121).  Istilah ini pun dipakai secara leluasa dan otomatis membingungkan sebagai akibat dari dua sikap, yakni resistensi sekaligus pengaburan makna modernisme dan implikasi dari pengetahuan luas ikhwal modernisme yang kini sudah terlampaui era baru. Aliran ini mulai dikenal secara luas dalam dunia filsafat pada tahun 1960-an.
Dalam dunia filsafat, postmodernisme mendapatkan pendasaran ontologis dan epistemologis, melalui pemikiran Jean Francois Lyotard seorang filsuf Perancis. Lewat bukunya yang merupakan laporan penelitian kondisi masyarakat komputerisasi di Quebec, Kanada, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge (1984), Lyotard secara radikal menolak ide dasar filsafat modern semenjak era Renaisans hingga sekarang yang dilegitimasikan oleh prinsip kesatuan ontologis (Awuy, 1995: 158). Menurut Lyotard, dalam dunia yang sangat dipengaruhi oleh  kemajuan teknologi, prinsip kesatuan ontologis sudah tidak relevan lagi. Kekuasaan telah dibagi-bagi dan tersebar berkat demokratisasi teknologi. Karena itu prinsip kesatuan ontologis harus didelegitimasi dengan prinsip paralogi. Paralogi berarti prinsip yang menerima keberagaman realitas, unsur, permainan dengan logikanya masing-masing tanpa harus saling menindas atau menguasai (Awuy, 1995: 161). Persis permainan catur, setiap bidak memiliki aturan dan langkah tersendiri, tanpa harus mengganggu langkah bidak lain.
Lebih jauh Lyotard menyatakan prinsip-prinsip yang menegakkan modernisme: rasio, ego, ide absolut, totalitas, teleologi, oposisi biner, subjek, kemajuan sejarah linear  yang disebutnya Grand Narrative  telah kehilangan legitimasi (Awuy, 1995: 158-161). Cerita-cerita besar modernisme tersebut tak ayal hanyalah kedok belaka, mistifikasi, yang bersifat ideologis, eksploitatif, dominatif dan semu.
Dari arah berbeda dengan fokus filsafat bahasa Jacques Derrida, seorang filsuf Perancis yang lain, bersepakat dengan Lyotard. Derrida mengajukan strategi pemeriksaan asumsi-asumsi modernisme yang seolah-olah sudah terberi itu dengan dekonstruksi. Dekonstruksi adalah strategi untuk memeriksa struktur-struktur yang terbentuk dalam paradigma modernisme yang senantiasa dimapankan batas-batasnya dan ditunggalkan pengertiannya (Sahal, 1994: 21). Dengan dekonstruksi, cerita-cerita besar modernitas dipertanyakan, dirongrong dan disingkap sifat paradoksnya. Lebih jauh dekonstruksi hendak memunculkan dimensi-dimensi yang tertindas di bawah totalitas modernisme. Implikasi logis strategi ini adalah melumernya batas-batas yang selama ini dipertahankan. Wacana-wacana yang sebelumnya tertindas: kelompok etnis, kaum feminis, dunia ketiga, ras kulit hitam, kelompok gay, hippies, punk, atau gerakan peduli lingkungan kini mulai diperhatikan. Dengan dekonstruksi, sejarah modernisme hendak ditampilkan tanpa kedok, apa adanya.

3.    Konsep Pendekatan Postmo
Aziz (1996:11) menyatakan bahwa untuk mendefenisikan postmodern itu, perlu dilihat dari dua hal. Pertama, postmodern dipandang sebagai keadaan sejarah setelah zaman modern, karena kata ’post” itu sendiri secara literal mengandung pengertian sesudah. Dalam hal ini modernisme dipandang telah mengalami proses akhir yang segera digantikan oleh zaman berikutnya yaitu post-modern. Kedua, postmodern dipandang sebagai gerakan intelektual yang mencoba menggugat bahkan merekonstruksi pemikiran sebelumnya yang berkembang dalam berbagai paradigma pemikiran modern.
Sepeti dikemukakan oleh Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir (2000:236) bahwa benang merah pola pikir modern antara lain: yang rasionalistik, fungsionalis, interpretif, dan yang teori kritis: yaitu dominannya rasionalitas. Tradisi ilmu sampai teori kritis masih “mengejar” grand theory. Logika yang dikembangkan dalam berilmu pengetahuan masih dalam kerangka mencari kebenaran, membuktikan kebenaran, dan mengkonfirmasikan kebenaran.
Sejumlah ahli mendeskripsikan posmo sebagai menolak rasionalitas yang digunakan oleh fungsionalis, rasionalis, interpretif, dan teori kritis. Namun Muhadjir (2000:237) berpendapat bahwa Posmo bukan menolak rasionalitas tetapi tidak membatasi rasionalitas pada yang linier, tidak membatasi pada yang standar termasuk yang divergen, horizontal, dan heterarkhik tetapi lebih menekankan pada pencarian rasionalitas aktif kreatif.
Tata fikir spesifik posmo adalah: kontradiksi, kontroversi, paradoks, dan dilematis. Posmo lebih melihat realitas sebagai problematis, sebagai yang selalu perlu di-inquired, yang selalu perlu di-discovered, sebagai yang kontroversial. Bukannya harus tampil ragu, melainkan harus memaknai dan selanjutnya in action. Ber-action sesuai dengan indikator jalan benar.
Beberapa pengertian dan pemahaman mengenai postmodernisme, dimana beberapa gagasan-gagasan dalam postmodernisme merupakan bentuk penolakan terhadap “kemapanan”, pencarian yang baru, dan penolakan terhadap pemisahan peran, tujuan atau hasil yang akan dicapai terhadap suatu kegiatan manusia. Berdasarkan pemikiran-pemikiran di atas, munculnya postmodernisme tidak terlepas dari pemikiran-pemikiran sebelumnya yang beraliran postivisme.
Postmodernisme menggoyang sendi-sendi teori atau ilmu sastra, linguistik, estetika, dan sampai pada pemikiran antiteori. Salah satu bentuk penolakan teori ini misalnya apa yang telihat pada paham dekonstruksi. Dekonstruksi ini merupakan ciri dari pendektan postmodern. Dekonstruksi merupakan perlawanan, pembalikan dari  hasil pendekatan lalu yang mapan. Dekonstruksi pada hakikatnya merupakan suatu cara membaca teks yang menumbang anggapan bahwa sebuah teks itu memiliki landasan, dalam sistem bahasa yang berlaku, untuk mengaskan struktur, keutuhan, dan makna yang telah menentu (Abrams, 1981:38)
Teori dekonstruksi menolak pandangan bahwa bahasa telah memiliki makna yang pasti, tertentu, konstan, sebagaimana halnya pandangan strukturalisme klasik. Hal ini merupakan alasan mengapa paham dekonstruksi disebut juga sebagai sebagai poststrukturalisme Nurgiantoro, 2007:59). Kesetiaan yang berlebihan terhadap suatu teori, menurut pendekatan ini, justru akan memunculkan adanya pembangkangan terhadap kebenaran teori itu sendiri.
Proses penulisan selalu mengungkapkan hal yang diredam, menutupi hal yang diungkapkan, dan secara lebih umum menerobos oposisi-oposisi yang dipikirkan untuk kesinambungannya. Inilah sebabnya mengapa “filsafat” Derrida begitu berlandaskan pada teks, dan mengapa term-term kuncinya selalu berubah, karena selalu tergantung pada siapa atau apa yang ia cari untuk didekonstruksi, sehingga titik pengelakan selalu dilokasikan di tempat yang berbeda.
Penjelasan ini berisiko membuat kita semakin sulit memahami pemikiran Derrida. Adanya perbedaan yang lebar dan diakui meluas, antara karya-karya awal dan karya-karya terakhir Derrida, juga menjadi contoh yang jelas bagi kesulitan yang akan muncul, jika kita menyatakan bahwa “dekonstruksi mengatakan ini” atau “dekonstruksi melarang itu.”
Kekhasan cara baca dekonstruktif, yang dalam proses selanjutnya membuatnya sangat bermuatan filosofis, adalah bahwa unsur-unsur yang dilacaknya untuk kemudian dibongkar bukanlah sekadar inkonsistensi logis, argumen yang lemah, atau premis tidak akurat yang terdapat dalam teks, sebagaimana yang biasanya dilakukan pemikiran modernisme. Melainkan, unsur yang secara filosofis menjadi penentu atau unsur yang memungkinkan teks tersebut menjadi filosofis. Singkatnya, kemungkinan filsafat itu sendirilah yang dipersoalkan. Paham dekonstruksi bermaksud untuk melacak aporia, yaitu yang berupa makna paradoksal, kontradiktif, ironi dalam objek yang diteliti. Unsur-unsur dalam penelitian itu dicari dan dipahami justru dalam arti kebalikannya. Unsur yang tidak penting dilacak dan kemudian dipentingkan, diberi makna, peran, sehingga akan terlihat perannya dalam objek penelitian tersebut.
C.  Pendekatan Postmodern dalam Penelitian Sosial Budaya
Kehadiran postmodernisme di kalangan peneliti  sosial budaya me­mang masih kontroversial. Di satu pihak menghendaki agar ada perubahan pemahaman, dari modern ke yang lain, yang konon telah jenuh dan menemui jalan buntu. Di lain pihak, masih ada keraguan menerima istilah tersebut, karena postmodernisme dianggap sekedar konter produktif, hura-hura, dan cibiran terhadap paham modern. Paham kedua inilah kiranya yang menciptakan postmodernisme masih goyah, bahkan ada yang belum mengakui secara akademik.
Pendek kata, kehadiran postmodernisme semestinya tak sekedar gerakan eforis di tengah hiruk pikuk pemahaman budaya. Apabila kemeriahan postmodernisme hanya sampai di sini, berarti pemahaman budaya justru semakin dangkal dan kosong. Kecemerlangan postmo­dernisme akhirnya akan terletak pada kemampuan merefleksikan fenomena secara arif. Arif, berarti memenuhi standar keilmiahan. Teror-teror mental yang selama ini membebani postmodernisme, seperti pelarangan menggunakan kata “saya” pada sebuah penelitian, pelarangan pemanfaatan kata-kata estetis dalam studi budaya – sebaiknya dihapus. Karena, postmodernisme tak lagi ingin berpikir kerdil yang meracuni peneliti sendiri. Keindahan bahasa dalam sebuah laporan peneltian budaya, asalkan tak mengurangi realitas, kiranya diizinkan dalam postmodernisme.
Hal demikian, juga diakui Lyotard (Sarup, 1993:131-134) bahwa postmodernisme merupakan gerakan penelitian budaya “radikal”. Paham ini tak mengindahkan hukum-hukum, pola-pola budaya yang lazim, dan menolak paham modern yang selalu memiliki hegemoni pemaknaan. Postmodernisme justru ingin menjebol sistem status quo. Itulah sebabnya, pemahaman budaya tak harus diatur rapi, tak harus berkotak-kotak, berteori-teori, melainkan dapat dimulai dari hal-hal sepele dan apa saja yang mungkin.
Postmodernisme sebenarnya lahir atas ketidakpuasan terhadap model penelitian budaya sebelumnya. Penganut postmodernisme, menganggap bahwa teori kajian budaya sebelumnya, seperti evolusio­nisme, fungsionalisme, struktal fungsional, dan seterusnya yang mengeklaim dirinya modern — dianggap kurang berdaya. Maksudnya, teori kajian budaya modern itu kurang mewakili kebenaran budaya yang semakin kompleks. Tuntutan zaman dan selera budaya masa kini, tampaknya tak mampu terwadahi oleh teori-teori modern yang agak sedikit kaku. Karena, pandangan modern hampir selalu mematok sebuah pemahaman budaya “harus ini” dan “harus itu”.
Setelah Geertz menafsirkan budaya Jawa di Pare dengan samaran Mojokuto, Periode tafsir ini dianggap kurang mewakili abangan, santri, priyayi di Jawa secara keseluruhan (Muhadjir, 2000:235). Karena itu, muncul postmodernisme yang berupaya menjelaskan sisi-sisi kecil dari unsur budaya yang sering terabaikan.
Sandaran dasar kaum postmodernisme, bukan berarti menolak rasionalitas yang telah dibangun kaum interpretif dan sebelumnya, melainkan ingin mencari makna baru lewat kebenaran aktif kreatif. Logika yang digunakan adalah selalu menemukan kebaruan, tanpa standar yang pasti. Karena itu, bagi kaum postmodernisme berkilah bahwa, kebenaran yang selalu mengandalkan “grandtheory” sudah tidak relevan lagi. Namun, mereka lebih menghargai perbedaan,pertentangan, paradoks, dan misteri di balik fenomena sosial budaya.
Dalam kajian budaya, dekonstruksi Derrida memberi pengaruh penting. Berkat dekonstruksi Derrida, makna kini tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang mutlak, tunggal, universal, dan stabil, tetapi makna selalu berubah. Klaim-klaim kebenaran absolut, kebenaran universal, dan kebenaran tunggal, yang biasa mewarnai gaya pemikiran filsafat sebelumnya, semakin digugat, dipertanyakan, dan tidak lagi bisa diterima.
Dalam kesusastraan, misalnya, dekonstruksi ditujukan sebagai metode pembacaan kritis yang bebas, guna mencari celah, kontradiksi dalam teks yang berkonflik dengan maksud pengarang. Dalam hal ini, membaca teks bukan lagi dimaksudkan untuk menangkap makna yang dimaksudkan pengarang, melainkan justru untuk memproduksi makna-makna baru yang plural, tanpa klaim absolut atau universal.
Dalam proses itu, penafsir juga tidak bisa mengambil posisi netral tatkala menganalisis suatu teks tanpa dirinya sendiri dipengaruhi atau dibentuk oleh teks-teks yang pernah ia baca. Teks itu sendiri juga tidak bisa diasalkan maknanya semata-mata pada gagasan si pengarang, karena pikiran pengarang juga merujuk kepada gagasan-gagasan pengarang lain yang mempengaruhinya.
Dekonstruksi, seperti juga pendekatan posmodernisme lainnya, dengan demikian cocok dengan konsep pluralitas budaya, pluralitas permainan bahasa, banyaknya wacana, penghargaan terhadap perbedaan, dan membuka diri terhadap yang lain (Hardiman, 2007:19).
Penghargaan terhadap perbedaan, pada “yang lain” ini membuka jalan bagi penghargaan pada pendekatan lokal, regional, etnik, baik pada masalah sejarah, seni, politik, masyarakat, dan kebudayaan pada umumnya.
Penelitian yang bersifat lokal, atau etnik, dan sebagainya kini mendapat tempat, dan pada gilirannya akan memperkaya dan menghasilkan deskripsi atau narasi-narasi khas masing-masing. Mungkin, inilah salah satu sumbangan penting dekonstruksi Derrida terhadap kajian budaya.

D.  Penerapan Pendekatan Postmodern dalam Penelitian
Seperti dikemukakan di atas, paham dekonstuksi memiliki keeratan dengan pendekatan postmodern. Paham ini berusaha melacak makna-makna kontradiktif, ironi dan memberi makna pada lain. Sebagai contoh pembicaraan, berikut akan disinggung sedikit penerapannya dalam penelitian sastra, yang masih tergolong penelitian budaya. Seperti pendekonstruksian dalam Roman Siti Nurbaya. Pada umumnya para penikmat sastra beranggapan bahwa Samsul Bahri merupakan tokoh protagonis yang hero, tokoh putih, sedang Datuk Maringgih, di pihak lain merupakan tokoh antagonis yang serba jahat, tokoh hitam. Melalui dekonstruksi, keadaan itu justru akan terbalik.
Samsul Bahri bukanlah seorang pemuda hero, melainkan seorang pemuda cengeng dan berperasaan nasional sempit. Hanya kegagalan cintanya terhadap seorang gadis (yang kemudian ternyata sudah janda), ia lupa akan dirinya: putus asa dan bunuh diri. Hal itu menunjukkan bahwa secara mental, ia bukanlah seorang pemuda yang kuat. Setelah ternyata usaha bunuh dirinya gagal juga, ia memutuskan untuk masuk serdadu kompeni. Belakangan, ketika di daerah Sumatera Barat, yang merupakan tanah kelahirannya, terjadi pemberontakan karena masalah blasting, ia ditugaskan untuk menumpas pemberontakan itu. Dengan bersemangat, ia berangkat ke medan tempur karena sekaligus bermaksud membalas dendam terhadap Datuk Maringgih yang menjadi biang keladi kegagalan cintanya. Apapun alasannya, hal itu berarti bahwa ia menerangi bangsanya sendiri dan justru berdiri di pihak sana membela kepentingan penjajah.
Dilihat dari teori dekonstruksi Jausz, yaitu  yang mempertimbangkan aspek historis yang berwujud “sejarah” tanggapan pembaca dari masa ke masa, perbuatan Samsul Bahri tersebut justru dapat ditanggapi sebagai perbuatan pengkhianat bangsa. Terhadap bangsa sendiri ia sampai hati untuk memeranginya, semata-mata didorong oleh motivasi pribadi. Ia sama sekali bukan seorang pahlawan, bahkan untuk pahlawan cinta sekalipun.
Datuk Maringgih, di pihak lain, walau ia diakui banyak orang sebagai tokoh jahat, bandot tua yang doyan perempuan, justru dipandang sebagai tokoh yang kuat dan berdimensi baik. dialah yang menjadi salah seorang tokoh yang menggerakkan pemberontakan terhadap penjajah Belanda itu, walau hal itu juga dilatarbelakangi motivasi pribadi (agar terbebas dari pajak besar. Apapun motivasinya, dia menjadi tokoh pemberontak. Artinya, dia adalah tokoh pejuang bangsa, yang seberapa pun kecil andilnya, bermaksud mengenyakan penjajah dari bumi Indonesia. dengan demikian, justru dialah yang “berhak” disebut pahlawan dan bukannya Samsul Bahri.
Ahmad Maulana dan Alimah, dalam novel Siti Nurbaya itu, hanya merupakan tokoh pinggiran yang umumnya dianggap kurang penting. Namun  jika dipahami betul pesan-pesan penting yang ingin disampaikan lewat lewat novel itu, akan terlihat bahwa kedua tokoh itu sebenarnya amat berperan. Dalam perbincangannya dengan Nurbaya, Maulana inilah yang mengungkapkan kejelekan-kejelekan perkawinan poligami yang sebenarnya lebih banyak menyengsarakan wanita dan anak-anaknya. Sikap dan pandangan hidup Nurbaya, sebenarnya, banyak dipengaruhi oleh sikap dan pandangan hidup kedua tokoh tersebut.

4.    Simpulan


Daftar Pustaka
Aziz, Ahmad Amir, Neo Modernisme Islam di Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 1996.
Alwasilah, Chaedar. 2008. Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Awuy, Tomy W. 1995. Wacana Tragedi dan Dekosntruksi Kebudayaan. Yogyakarta;Jentera Wacana.
Dunn, Robert. 1993. Pascamodernisme: Populisme, Budaya Massa dan Garda Depan dalam Prisma, No. I, Th. XXII, hlm. 38-56.
Garna, Judistira K. 1999.  Pendekatan Penelitian: Pendekatan Kualitatif.  Bandung: Primaco Akademika
Gelner, Ernest, Menolak Post-modernisme  antara Fundamentalisme Rasionalis dan Fundamentalisme Religius, [Postmodernism, Reason and Religion], terj. Hendro Prasetyo dan Nurul Agustina, Bandung: Mizan, 1994.
Hardiman, F. Budi. 2007. Filsafat Fragmentaris. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Muhadjir, Noeng.  2000. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi IV. Yogyakarta: Rake Sarasin.
Nurgiyantoro, Burhan. 2007. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Uny pers.
Rosenan, Pauline Morie. 1992.  Post Modernism and the Social Sciences: Insight,
Inroads, and Intrusions. Princeton: Princeton University Press.
Sugiharto, Bambang. 1996. Postmodenisme : Tantangan Bagi Filsafat, Jakarta : Kanisius.
_________. 2000. Postmodenisme : Tantangan Bagi Filsafat, Jakarta : Kanisius.
Suseno, Franz Magnis, Pijar-Pijar Filsafat: Dari Gatholoco ke Filsafat Perempuan, dari Adam Muller ke Post-modernisme, Yogyakarta: Kanisius, 2005.
Wijowasito dan Perwadarminta. 1980. Kamus Bahasa Inggris. Bandung: Hasta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar